Sikat Gigi Einstein.

1.1K 91 0
                                    

16 September 2014

Hai, Pak Jacob.

Maaf, tapi kita lewatkan saja segala tetek bengek mengenai tanya kabar dan segala formalitas lain. Di surat-surat lain kau tidak akan menjumpai hal seperti itu lagi. Yang perlu kau tahu adalah saya selalu mengharapkan kau sehat.

Langsung saja ke cerita.

Masa-masa SMA. Aku tidak tahu bagaimana cara memulainya. Yang pasti, cukup buruk karena kehadiran si Oktavian itu.
Di kelas, dia menjadi si 'pujaan'. Dia punya semacam kelompok fans yang kerjaannya mengikuti dia terus. Satu sekolah tahu tentang dia. Kalau masalah nilai, dia selalu yang terbaik. Mungkin itu juga karena dorongan rasa malu. Semua orang tahu kalau dia jenius, kalau nilainya kalah sama yang lain... malu dong?

Kalau aku sih menikmati hidup gaya Pak Dudut saja. Di kelas aku sering tertidur. Aku tidak punya teman dan tidak mengharapkan punya teman. Aku tidak peduli dengan pelajaran dan aku tidak mau ambil pusing dengan segala tes, ujian, ulangan, kuis, dan semacamnya. Ya ampun. Sudah ada banyak hal di dalam pikiranku. Untuk apa lagi mempermasalahkan hal yang sepele seperti itu?

Kelasku dijuluki 'kelas calon profesor'. Kelas ini memiliki konsentrasi tertinggi dari nilai-nilai bagus. Anggap saja aku sebagai jangkar. Aku mencegah rata-rata nilai melambung terlalu tinggi dan akhirnya terbawa ombak. Yaa... nilaiku do - re - mi.

Aku selalu dikucilkan dan dijadikan bahan ejekan. "Apa yang dilakukan seorang idiot di kelasku?" Tanya si Oktavian.

"Memangnya kelas ini milikmu?" Aku balas bertanya sambil menguap.

Dia mengangkat tinjunya. 'Fans'nya mengerumuni kami dan bersorak-sorai.

"Hei, Bung. Kalau kau memang pintar, jangan pakai otot lah, Bung. Pakai tuh otak 151-nya. Bikin intrik atau apalah. Pakai cara-cara 'cantik' dong. Jangan kasar, Bung," tukasku dengan nada mengejek. "Eh, tunggu. Bukannya di kertas itu ada tulisan semua hasil psikotest rahasia, ya? Kok ini semua orang tahu, sih?"

Sepertinya aku membuatnya kesal. Kata-kataku yang keluar spontan itu melukai harga dirinya. Dia melayangkan pukulan, aku menangkapnya dam memuntir tangannya dengan gaya yang diajarkan Pak Dudut. Dia menangis. Ya ampun. Dasar cengeng.

Kepala sekolah datang. Dia membawaku ke ruangannya dan mengamuk. Lucu melihatnya. Mukanya memerah, hidungnya melebar, matanya menyipit. Dia kelihatan seperti mau meledak. Aku tertawa melihatnya. Dia naik darah. Aku dimasukkannya ke dalam masa percobaan, apapun itu.

Bukan cuma itu masa percobaanku. Aku pernah begitu juga saat beberapa kali ketahuan merokok di taman belakang sekolah. Terus kenapa? Tidak ada orang lain. Aku tidak membahayakan siapa-siapa kecuali diri sendiri. Apa salahnya? Diri sendiri tanggung jawab pribadi.

Dengan tingkat pelanggaran seperti itu dan nilai yang membuatku selalu dimarahi guru, belum lagi tugas dan PR yang tidak pernah dikumpulkan, aku seharusnya sudah dikeluarkan sejak lama. Tapi, mereka masih mempertahankanku. Ternyata, pak kepsek dan bu guru BK tahu semua hasil psikotest. Dan hanya mereka saja di sekolah yang tahu. Mungkin mereka berharap aku memunculkan sesuatu yang hebat dan semacamnya.

Sekilas info saja, kelas dua aku tetap sekelas dengan si Oktavian. Kelas tiga juga. Sial.

"Nih, sikat gigi. Ibu mau kamu menggosok semua toilet di sekolah ini," kata guru BK dengan tegas sambil menyerahkan benda itu padaku. Aku memang sering bolak-balik ruang BK.

"Toilet perempuan juga, Bu?" Aku nyengir.

"Ya tidak, lah!" Hardiknya.

"Loh, kata Ibu semua?"

Dia menatapku dengan 'tatapan maut' yang ditakuti semua anak. Aku? Setelah setiap hari aku ditatap seperti itu, aku santai saja.

"Toilet guru, Bu?"

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang