BAB 12

948 74 2
                                    

"Perkenalkan, saya Irna Sarini."

Mendengar perkenalannya, aku otomatis hendak memperkenalkan diri juga. Namun, setelah kupikir-pikir lagi pasti wanita itu sudah tahu sangat banyak tentangku. Kuputuskan untuk membisu.

Wanita itu memimpin aku dan Marthen memasuki rumah lewat pintu samping garasi. Kami dibawanya memasuki ruangan yang tampak seperti ruang makan. Sebenarnya, hal yang membuat ruangan itu terlihat seperti ruang makan --mungkin dulunya memang ruang makan-- adalah sebuah meja besar yang terletak di tengah-tengah dan lokasinya yang bersebelahan dengan ruangan yang kuanggap sebagai dapur. Di atas meja itu berserakan lembaran-lembaran kertas yang isinya entah apa. Di tembok, tergantung sebuah papan tulis yang dipenuhi corat-coret mirip bagan yang nyaris tak terbaca.

Di sudut ruangan, terdapat sebuah meja kecil dengan tiga monitor komputer di atasnya. Seorang pria berperawakan kecil duduk bersila di atas kursi kantor menghadap monitor-monitor komputer itu sambil mengetik. Headphone yang dia pakai membuat wajahnya terkesan mirip tikus.

Menyadari kami memasuki ruangan, dia menoleh, lalu bergumam pelan, "Bu Ir... Yo, Marthen." Pria itu lalu kembali pada apa pun yang dikerjakannya, mengacuhkanku.

Irna berhenti di depan papan tulis, membelakangiku sambil berkacak pinggang. Bingung harus berbuat apa, aku pun diam di tempatku. Marthen terus berjalan ke arahnya. Kulihat wanita itu membuat suatu isyarat singkat. Marthen tersenyum tipis, lalu mengangguk.

"Kopi?" dia menawarkan padaku.

Masih merasa linglung, aku hanya menggeleng.

"Oke." Marthen melenggang ke dapur.

Selama beberapa saat, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah bunyi kertak keyboard, disusul oleh denting sendok beradu dengan gelas di dapur.

"Jadi," ucap sang 'Ibu Boss' sambil membalikkan tubuhnya ke arahku. "Sepertinya kami berhutang penjelasan."

Dia menarik sebuah kursi kantor dari 'meja makan' dan duduk, seraya mempersilahkanku melakukan hal yang sama. Aku menurutinya.

"Harus saya mulai dari mana?" dia bertanya sambil meletakkan dagunya di atas jemarinya yang saling ditautkan.

"Eh... A.." aku terbata-bata.

"Kami intel polisi yang bertugas memata-matai peredaran narkoba," ujarnya tanpa menungguku. "Pangkat gak penting, Anda gak perlu tahu. Pasti udah kenal, kan, sama Marthen dan Victor? Yang di pojok itu Roy, dari cyber crime." Dia menunjuk pria muda yang sedang asik berkutat komputernya itu. "Jumlah kami lebih dari ini, tapi Anda gak perlu tahu siapa aja dan berapa banyak. Anda cukup tahu kami aja."

Oh, jadi sepertinya dia memperkenalkan sedikit dari mereka untuk mendapatkan kepercayaanku. Lalu di saat yang sama menyatakan bahwa teman-temannya masih banyak, mengintimidasiku. Setidaknya aku tidak terlalu lugu karena terbiasa terbiasa membaca orang untuk menciptakan karakter-karakter dalam tulisanku.

"Singkat cerita, kami memulai dari bawah, lalu melacak 'piramida organisasinya' --kalau bisa dibilang begitu-- hingga ke puncaknya, Madeleine Gara. Waktu yang dibutuhkan gak dikit, pastilah.

"Madeleine muda menikah dengan Tuan Gara, yang memang udah kaya dari sananya, turun temurun. Lalu, saat suaminya mengembangkan bisnis pengalengan ikan, Maddie juga merintis kerajaannya. Sebenarnya, otak dari seluruh Agivax, perusahaan keluarga itu, adalah Maddie, bukan suaminya. Dia juga terlibat pencucian uang besar-besaran lewat lelang-lelang dan galeri seni.

"Tiffany diadopsinya sebagian demi pencitraan, dan sebagian lagi untuk dikawinkan. Tiffany dinikahkan dengan Angelio Riyandani, penerus Cortionaire, mengarah pada penyatuan kedua perusahaan menjadi Agico --kayaknya Anda udah tahu tentang ini. Abraham Gara meninggal, Angelio dijadikan CEO, Maddie pensiun lalu menyetir segalanya dari belakang layar.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang