BAB 4

1.3K 97 0
                                    

Deru kereta api menemaniku membaca surat kedua dari si Yohandio ini. Tulisan cakar ayamnya sangat jelek sehingga sulit untuk dibaca. Di beberapa tempat, aku nyaris tidak tahu dia menulis apa. Sebenarnya siapa orang tidak jelas yang mengaku-ngaku jenius ini? Mengapa pamanku menanti-nanti surat darinya?

Aku melipat kembali suratnya dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Kemarin, setelah aku pulang, kubuka beberapa suratnya. Ternyata pamanku telah menyusunnya sesuai urutan waktu.

Kereta yang kunaiki ini berhenti di sebuah stasiun, stasiun di mana pamanku turun sekitar setahun yang lalu. Saat aku berjalan menyusuri lorong stasiun, aku membayangkan pamanku berlarian sambil membawa segelas kopi. Dia menabrak seorang pria muda bersetelan jas dan tak sengaja menumpahkan kopinya. Dan semua kejadian itu berujung pada surat-surat aneh itu. Apa kaitan semua ini?

Aku duduk di sebuah kursi di semacam ruang tunggu. Di seberangku, ada satu keluarga yang kelihatannya akan jalan-jalan. Suami istri dengan tiga anak : satu bayi, satu balita, dan yang satu lagi sudah remaja. Mereka membawa beberapa koper.

"Ayah... ayah... boleh dedek beli minum. Ya, ayah, ya... dedek boleh ya..." anak yang paling kecil merajuk sambil bergelayut pada ayahnya.

"Boleh gak, Bun?" Tanya sang ayah pada istrinya.

"Terserah. Tapi jangan yang dingin-dingin," jawab istrinya yang sedang menimang anak bungsu mereka yang terlelap.

"Tuh, kata bunda boleh," ujar sang ayah sambil merogoh saku belakang untuk mengambil dompet. "Nih duitnya. Kakak, temenin adikmu nih. Jangan main HP aja."

Melihat usia sang ibu, sepertinya dia memiliki anak pertama saat berusia lebih muda dariku. Entahlah. Aku bukan tipe orang yang berkeluarga. Itulah kemiripanku dengan pamanku. Setidaknya itulah hal yang aku tahu pasti dari kepribadian pamanku.

Kubuka buku catatan pamanku. Ya, dia turun di stasiun ini dan pergi ke satu alamat yang tertulis di sana. Setelah kucari di internet, ternyata alamat itu adalah alamat dari kantor catatan sipil. Apa yang dilakukannya di sana?

Aku beranjak dari kursi yang kududuki dan berjalan cepat ke arah pintu keluar. Angkutan umum sudah menanti. Bermodalkan nekad, aku menaiki salah satunya sesuai dengan panduan yang kudapat dari internet.

Selama perjalanan, aku tidak bisa berhenti memikirkan surat-surat itu. Apa pentingnya bagi pamanku? Terlebih lagi, siapakah Yohandio Hernan? Kenapa di surat-suratnya tidak ada alamat pengirim?

Aku tidak percaya kalau dia jenius. Nyatanya saja, ada bukti yang tak terbantahkan dari kebodohannya. Apakah itu? Sederhana. Dia mengharapkan surat balasan dari pamanku. Namun bagaimana mungkin pamanku bisa membalas suratnya jikalau tidak tercantum alamat pengirim? Kalaupun pamanku ingin membalas suratnya, dia tidak akan bisa.

Bodoh sekali.

Dari kejauhan, bisa kulihat fasad pabrik-pabrik di pinggiran kota. Kawasan industri itu terus berkembang dengan cepat. Apa yang dimulai dengan sebuah pabrik pengalengan ikan di pesisir, sekarang menjadi tempat penuh pabrik dan polusi. Luar biasa.

Aku turun di sebuah pertigaan, lalu berjalan kaki mengikuti sistem navigasi di telepon genggamku. Akhirnya aku sampai di tempat yang dikunjungi pamanku dalam misinya setahun lalu, entah untuk apa.

Aku masuk ke dalam sana. Kulihat ada beberapa orang yang sedang mengurus pembuatan akta kelahiran. Seseorang menghampiriku. Dia bertanya urusan apa yang kumiliki di sini. Langsung saja aku menjawab kalau aku ingin mencari catatan kelahiran diriku, yang saat kecil diadopsi. Kata-kata itu meluncur keluar dari mulutku begitu saja.

Orang itu memerintahkanku untuk mengisi semacam buku tamu. Meskipun sudah jelas bagaimana cara mengisinya, aku membuka halaman-halaman depan buku tebal itu, berpura-pura melihat bagaimana orang lain mengisinya.

Sebuah nama menarik mataku seperti magnet. Jacob Adrian. Pamanku ada di sini pada tanggal 20 Juli tahun lalu.

Dengan cepat, aku mengisi dengan nama palsu, lalu memberi tahu orang tadi, sepertinya dia staf, kalau aku sudah selesai.

Sejauh ini, kelihatannya dia percaya pada kebohonganku. Dia bertanya tentang jangka waktu yang ingin kucari.

"Tahun berapa," katanya setelah aku bertanya meminta penjelasan.

Aku mengingat tanggal yang dilingkari dan diberi tanda tanya oleh pamanku di dalam buku catatannya. 17 Desember 1990.

"Seribu sembilan ratus sembilan puluh," ucapku lambat. "Catatan khusus?"

Dia menatapku sebentar sebelum berkata, "Lewat sini."

Usiaku dan usia yang sesuai dengan tahun itu hanya berbeda empat tahun. Untung saja dia tidak curiga.

Aku mengikutinya menyusuri koridor bangunan itu. Kami pun masuk ke dalam sebuah ruangan setelah dia membuka kuncinya. Ruangan itu remang-remang, dipenuhi dengan lemari-lemari besi yang lebih besar dari milik pamanku, dan lebih tua. Dia menuntunku ke sebuah lemari besi dan membukanya. Suara saat lacinya ditarik membuatku ngilu.

"Pada tahun itu semua belum terkomputerisasi. Jadi... selamat menikmati," ujarnya.

Dengan ragu-ragu, aku mengambil setumpuk kertas dan map. Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Orang itu tidak mau meninggalkanku sendiri. Dia mengamatiku dari jarak lima meter dengan tatapan seperti elang mengamati mangsanya.

"Oh, ya. Mbak datang di saat yang tidak tepat. Sebentar lagi jam makan siang. Paling juga dua jam. Jadi," dia melirik jam tangannya, "sekitar sepuluh menit lagi Mbak sudah harus keluar. Boleh disambung lagi nanti, tapi terserah."

Dengan perhitungan waktu seperti itu, ditambah dengan waktu yang diperlukan untuk naik angkutan umum ke stasiun, jika aku memutuskan untuk menyambung lagi nanti, aku akan ketinggalan kereta.

Sial.

Maka, apa boleh buat. Aku mengembalikan tumpukan yang sudah kuambil dan bertanya, "Kalau yang Desember di mana, ya?" Entahlah. Sepertinya aku hanya harus mengikuti firasatku tentang tanggal misterius itu.

Dia pun menunjukkanku setumpuk berkas di laci lain. Kuambil berkas itu, yang ternyata sangat banyak. Jadi, dia membantuku membawanya ke sebuah meja dan kursi di sudut ruangan yang dipasangi lampu baca.

Aroma kertas lama memenuhi indra penciumanku. Sesekali aku bersin-bersin. Karena kutu buku, mungkin. Kubaca satu per satu dengan teliti. Aku membatasi pencarian di seminggu sekitar tanggal dari pamanku. Mudah sekali membayangkan setahun lalu pamanku duduk di tempat yang kududuki sekarang sambil meneliti catatan-catatan kelahiran yang sama. Kurus dan botak, sesekali terbatuk.

Sang staf pencatatan sipil tampaknya ingin menawarkan bantuan padaku, namun pada akhirnya dia mengurungkan niatnya. Dia hanya mengawasiku dari jauh sambil bersiul lirih.

Kelihatannya pencarian ini tidak membawaku ke manapun. Aku merasa putus asa saat sang staf berkata, "Waktu habis, Neng. Ayo keluar. Tinggalkan saja di atas meja. Ntar saya yang membereskan."

====

Aku meringkuk di atas sofa beludru di tengah-tengah perpustakaan rumah pamanku. Tidak. Ini rumahku sekarang.

Aku merasa diriku sudah gila. Apa yang kulakukan sekarang? Aku melacak jejak almarhum pamanku setahun lalu. Untuk apa? Menyelesaikan 'misi sebelum mati' miliknya? Untuk mengenalnya? Semua ini sia-sia.

Tapi ada satu hal yang benar-benar membuatku yakin aku sudah gila. Aku berani bersumpah aku melihat sekilas nama Yohandio Hernan pada salah satu kertas tersebut.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang