Haaiii...
Yey, AN ditaroh di atas...
Maaf, semuanya, atas update yang super lama. Untung aja masih bisa memenuhi janji sebulan sekali. Terima kasih atas semua dukungannya sampai sekarang, jadinya proyek 'ajaib' ini gak mangkrak di tengah jalan.
Selebihnya, silahkan nikmati satu chapter agak [sangat] panjang yang pada dasarnya 'a calm before the storm'(?). Santai, gak serius, untuk melepas stress. Soalnya, habis chapter ini ceritanya bakal mulai nanjak terus dan action(????????)nya akan dimulai. Dan cliffhanger bertebaran. Ya.
Sekian dan terima kasih :)
Rahayu_via
=====================
Suara ketukan di pintu mengejutkanku. Mendengarnya, langsung kulipat surat super melankolis Dio yang baru saja selesai kubaca lalu kujejalkan ke dalam tas.
Pintu diketuk kembali.
"Masuk," ucapku pelan menanggapi.
Pintu itu berayun terbuka. Kulihat sosok di balik pintu itu.
"Maaf, bangunin tengah malem begini," kata Irna.
Di atas tempat tidur, aku duduk dan menegakkan tubuh. "Tidak apa-apa. Lagipula saya kesulitan tidur."
"Baguslah, kalo gitu," ucapnya sambil tersenyum. "Terpaksa, saya harus minta maaf lagi."
"Ada apa?"
"Sayangnya Anda harus dipindahin."
Setelah berdiam sejenak mencerna kata-katanya, aku pun mengangguk. Kuraih tasku yang tergeletak di sampingku, lalu bangkit berdiri. Kurapikan bajuku sebentar. Wanita tersebut lalu memimpinku keluar dari kamar. Aku melangkah di belakangnya saat kami berjalan menuruni tangga 'markas' itu.
Sesampainya di ruang bawah, tempat itu tidak seperti yang kukenali tadi siang. 'Ruang makan' itu kini dijejali orang. Lelaki-lelaki tak berseragam tampak memadati daerah sekitar meja. Tampak juga beberapa orang polisi berseragam di antara mereka. Saat aku melintas, beberapa dari mereka menoleh, menyapa Irna dengan hormat, lalu kembali pada kesibukan mereka.
Ingatanku dari tadi sore muncul kembali ke permukaan. Baru beberapa jam yang lalu, aku melalui 'sesi interogasi' yang sangat melelahkan bersama beberapa orang dari mereka. Dibombardir serangkaian pertanyaan setelah mengalami pengalaman yang bisa dibilang traumatis tidak membantu sama sekali. Baru dua jam berlalu setelah aku diperintahkan masuk ke kamar di lantai atas untuk beristirahat, saat pintuku diketuk oleh Irna barusan.
Dari tempatku berada, dapat kudengar potongan-potongan pembicaraan mereka. Irna melirikku sebentar, sambil memberi isyarat untuk mengacuhkannya.
"... jadi, penggerebekannya akan..."
"... dia sudah tahu dirinya diincar..."
"... udah siap-siap kabur..."
"... surat penangkapan?"
"... besok atau tidak sama sekali..."
"Bu Ir," bisikku di telinganya saat kami keluar dari ruangan itu. "Saya dipindahkan kemana? Atas perintah Ibu?"
Aku menelan ludah saat melewati seorang pria yang menyandang sebuah senapan.
"Gak tahu ke mana," jawab Irna. "Yang pasti tempat aman. Kalau soal perintah, liat bapak-bapak kumisan yang di sana?" Wanita itu berhenti, lalu menunjuk secara samar seorang pria yang sedang bersandar santai di tembok sebelah papan tulis. Pria itu mengenakan kemeja batik oranye mencolok.

KAMU SEDANG MEMBACA
Genius?
Misterio / SuspensoKarina tidak pernah membayangkan seorang pengacara akan mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa almarhum pamannya yang tak pernah dia kenal mewariskan seluruh hartanya padanya. 'Mantan' penulis itu pun menemukan banyak kejanggalan dalam kehidupan san...