1985
"Jadi lu mau make duit warisan gua buat modalin bisnis lu?" tanya Corey tajam. Dia menyilangkan lengannya di depan dadanya. Tatapan skeptisnya yang khas dihujamkan pada Jacob yang berdiri di hadapannya sambil memegang kapur yang digunakannya untuk mencoret-coret papan tulis berukuran sedang yang berdiri disangga kaki-kaki besi.
"Lu salah pa—"
"Gua temen lu, iya. Tapi, prinsip 'barangku barangmu juga'... ya ga gitu juga kali."
"Cor. Dengerin gua. Proposal yang lu tulis itu brilian banget," ucap Jacob, lalu memberi jeda sebentar.
Ekspresi sang peraih IPK 3,84 itu melunak sedikit setelah mendengar pujian Jacob, tapi kepalan kedua tangannya yang bersilang tidak mengendur.
"Kalau kita maju dengan proposal tulisan lu, dan gua yang presentasi di bank," lanjut Jacob, "gua seratus lima puluh persen yakin kalau kita bakal dikasih pinjeman."
Corey hanya mendengus.
Jacob membalas tatapannya dengan penuh tekad. "Tapi jumlah dari bank itu belum cukup buat modal. Dengan tambahan duit dari lu—"
"Jadi gua itu celengan ayam lu yang bisa dipecahin seenaknya?"
"Ya ampun, Cor—"
"Lima puluh persen."
"Hah?"
"Setengah perusahaan jadi punya gua."
"Cor, kita baru ngomongin cari modal."
"Terus apa ini?!" Corey meledak. Dia bangkit berdiri dari kursinya dan menudingkan jari telunjuknya ke tulisan tangan Jacob yang ada di papan tulis hijau portabel. "Haish! Secara implisit, lu mau nggunain gua."
"Lu punya koneksi," jawab Jacob sambil menggertakkan gigi.
"Yang bisa lu eksploitasi," sambung Corey. "Gua ga mau kesuksesan gua jadi bayang-bayang kesuksesan ayah gua."
"Ini kesempatan, Cor. Bukan bayang-bayang. Kesempatan ga bisa disia-siain."
"Ayah gua kolonel, bentar lagi jadi brigjen. Ya. Gua ngerti logika elu. Kita bisa mulai dengan jadi distributor logistik. Dengan ayah gua sebagai pembeli, pada akhirnya kita bisa memonopoli distribusi barang yang dibutuhin TNI di bawah komando ayah gua," ujar Corey pahit.
"Dan dari sana, bayangin kita bisa apa! Bisnis bisa tumbuh cepet banget. Ga nyampe lima tahun, kita bisa punya kapal kargo sendiri!"
"Ga."
"Beneran deh, Cor, gua ga ngerti sama kebencian lu yang ga masuk akal sama ayah lu."
"Beneran deh, Jac, gua ga ngerti sama ambisi lu yang menjijikkan itu."
"Awas lu ya--"
"Satu kata. Enggak."
Hannah hanya menyaksikan argumen itu dari sudut ruangan tanpa bersuara. Akhir-akhir ini, kakaknya dan Corey semakin sering bertengkar. Mereka bahkan belum mulai membangun bisnis, dan ketegangan di antara mereka seolah sudah mencapai puncaknya.
Jadi, di sanalah Hannah, duduk di sudut belakang ruang tamu, menyatu dengan latar belakang. Teriakan mereka terlalu keras hingga memasuki kamarnya, membuatnya tidak bisa berkonsentrasi belajar. Felis belum pulang--Hannah lupa menanyakan pada ibunya kemana dia pergi hari itu--maka tidak ada yang bisa menandingi teriakan dua lelaki muda nan panas itu. Pada akhirnya, Hannah memutuskan untuk menyuguhkan kue kering, yang tak tersentuh seperti biasa, lalu duduk di pojokan, menonton adu argumen dua orang terdekatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius?
Mystery / ThrillerKarina tidak pernah membayangkan seorang pengacara akan mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa almarhum pamannya yang tak pernah dia kenal mewariskan seluruh hartanya padanya. 'Mantan' penulis itu pun menemukan banyak kejanggalan dalam kehidupan san...