BAB 22

798 75 3
                                    



"Bagaimana bisa kau melakukan itu?" tanyaku. "Bagaimana kau bisa menyelundupkan dan mengedarkan barang... mengerikan itu?"

Seraya pesawat semakin mendekati daratan, kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan. Aku tidak habis pikir bagaimana wanita tua itu memandang dunia. Dengan barang dagangannya dia telah menghacurkan hidup sangat banyak orang, tidak hanya hidup keluargaku. Bisa dibilang, keluargaku ikut ambil bagian dalam hal ini. Kami berhak menerima kesialan ini.

Ketinggian pesawat semakin menurun. Lampu pesawat meredup, bersiap-siap untuk pendataran. Satu-satunya sumber cahaya adalah jendela-jendela pesawat.

"Apa yang salah dengan moralitasmu?" tanyaku pahit.

Maddie terdiam sejenak sambil memasang sabuk pengaman, lalu terkekeh pelan. "Aku yang salah, Nak? Aku? Di rumah sakit, heroin digunakan setiap saat dan tidak dalam jumlah sedikit. Apakah para pasien berakhir sebagai pecandu? Tidak. Memang, jika digunakan dalam waktu lama dan dalam jumlah banyak, tubuh akan ingin lagi dan lagi. Tapi, apakah pikiran mereka menginginkannya? Tidak. Lalu apa bedanya dengan para pecandu? Mengapa pikiran orang-orang itu begitu menginginkan barangku?

"Aku memberikan mereka apa yang mereka butuhkan. Aku memberikan apa yang tidak bisa diberikan lingkungan mereka, keluarga mereka, teman mereka, bahkan diri mereka sendiri. Aku memberi jalan keluar, kebahagiaan. Manusia butuh ikatan dalam hidup, baik dengan orang lain atau hal-hal absurd lain. Jika tidak ada ikatan, maka barangkulah yang akan mengisinya. Mengapa mereka bisa tanpa ikatan seperti itu? Salahkan lingkungan mereka, keluarga mereka, teman mereka, diri mereka. Aku hanya... mengeksploitasi ketiadaan ikatan."

Aku membuka mulut untuk menanggapinya, namun pesawat bergoncang keras.

Pesawat ini telah mendarat.

Di luar jendela, kulihat landasan pacu pesawat dilintasi dengan cepat.

Nyaris dua jam perjalanan dengan pesawat? Luar negeri? Singapura? pikirku. Wajah ibuku mendadak berkelebat dalam benakku. Segera kubuang jauh-jauh pikiran mengenainya.

Bandara ini tidak terlalu ramai. Dari pesawat-pesawatnya yang mirip dengan yang kunaiki sekarang, kusimpulkan bandara ini adalah bandara pribadi.

Setelah pesawat berhenti sepenuhnya, Maddie melepas sabuk pengamannya, lalu memberi kode ke belakang pesawat. Marthen berjalan mendekat. Di bawah tatapan tajamku, dia melepaskan borgol yang mengikat tanganku. Kukerahkan semua kehendakku untuk tidak saat itu juga melepas sabuk pengaman dan menerjang siapapun yang terdekat denganku.

Seorang petugas imigrasi naik ke pesawat dan mengecek paspor kami semua. Tak lama, orang itu turun dari pesawat. Begitu orang itu menghilang dari pandangan, Marthen memborgol kedua tanganku di depan tubuhku. Orang-orang di sekitarku tetap tidak bergerak, menunggu entah apa. Dari jendela, kulihat dua buah limosin hitam mendekati pesawat.

Maddie bangkit berdiri, diikuti oleh empat orang bodyguardnya. Marthen mencengkeram lenganku dan menarikku berdiri.

Setiap tarikan nafasku rasanya membara. Aku belum pernah merasakan amarah yang begitu bergolak dalam diriku. Sebuah rencana gila yang bisa dibilang bunuh diri terbentuk dalam kepalaku.

Rencana ini... Sabar. Belum saatnya, Karina.

"Aku akan naik limo pertama dengan dua orang plus Marthen. Karina akan naik limo kedua bersama dua orang lainnya," titah Madeleine Gara pada 'Si Boss' bodyguard.

"Baik, Nyo—"

"Tunggu," Marthen angkat bicara. "Maafkan saya menyela, Nyonya, tapi akan lebih aman jika saya, Anda, dan tawanan kita ada di mobil kedua," katanya. Lalu, dia menghujamkan tatapan menantang ke arah Si Boss. "Kau ikut dengan kami dan sisanya di mobil pertama. Kalian bisa menjadi pembuka jalan, memastikan semuanya aman, dan—jika sesuatu berjalan salah—kalian bisa menjadi umpan untuk mengecoh pengejar." Tatapannya kembali ke Maddie.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang