BAB 17

683 65 0
                                    


Aku tidak yakin akan apa yang aku rasakan saat ini. Aku hanya dapat menatap jalanan sambil menginjak pedal gas. Sekarang, aku hanya beberapa kilometer jauhnya dari villa pribadi 'ratu', mencoba meyakinkan diri bahwa aku bisa melakukannya.

Kulirik layar GPS yang terpasang di dashboard mobilku. Segitiga biru kecil yang melambangkan mobil ini berangsur-angsur bergerak mendekati titik tujuan. Jalur yang harus kutempuh semakin lama semakin memendek.

"Dalam 500 meter belok kanan," kata suara wanita yang keluar dari alat tersebut.

Kutelan air liurku. Di sekitarku, tidak ada satu pun mobil yang melintas. Jalan ke villa sudah sepenuhnya diblokir. Arus lalu lintas telah dialihkan. Hanya aku sendiri yang menyusuri jalan ini.

Saat aku berbelok di tikungan yang tadi telah diberutahu oleh GPS, kulihat sebuah mobil yang familiar. Mobil yang diparkir di tepi jalan tersebut merupakan mobil yang kemarin aku naiki saat pergi ke mall. Mobilku berpapasan dengan mobil tersebut. Kulihat ke dalam jendelanya yang terbuka. Victor duduk di kursi pengemudi sambil tersenyum canggung dan mengetuk dahinya sendiri, lalu memberiku acungan jempol, mengingatkanku akan alat perekam yang terpasang. Sementara itu, Marthen duduk di sebelahnya dengan wajah datar serta mata yang tersembunyi kacamata hitam.

Segera, kupercepat laju mobilku. Aku tidak ingin melihat mereka berdua lagi hari ini.

Jalan yang kutempuh berkelok-kelok menanjak. Di sisi kanan dan kiri jalan, pepohonan yang seragam tumbuh lebat, diselingi pakis-pakisan di sela-selanya. Sinar matahari menembus tajuk pepohonan. Pemandangan yang membuat damai, memang, tapi tetap saja tidak dapat meringankan beban yang menghantui pikiranku.

Semakin tinggi aku naik, semakin curam tanjakannya. Mendengar geraman mesin mobil tua yang sudah tidak prima lagi, kuputuskan untuk mematikan AC dan membuka jendela. Semilir angin dingin membelai wajahku. Bukan membelai, sebenarnya, lebih mirip... menghempas.

"Siap-siap," kata Roy melalui earpiece di telingaku.

Itu kode untukku. Langsung kulepas earpiece itu, lalu kusembunyikan di bawah karpet mobil. Kali ini aku masuk ke dalam teritori Maddie. Dia pasti akan menggeledahku seteliti mungkin. Kami hanya bisa bergantung pada alat perekam di dalam perbanku --yang pagi ini baru diganti oleh Marthen sebelum meninggalkan rumahnya.

"Anda sudah sampai di tujuan," ucap GPS-ku.

Kuhentikan mobil. Di hadapanku, menjulang sebuah gerbang dan pagar yang jauh dari elegan. Menurutku, pagar abu-abu tinggi itu lebih mirip benteng. Seorang pria berpakaian serba hitam yang berjaga di sana langsung berjalan ke samping mobilku. Kuturunkan kaca jendela.

"Tolong tanda pengenalnya," ucapnya dengan suaranya yang rendah.

Kurogoh tasku mencari dompet. Kukeluarkan kartu identitasku lalu kuserahkan pada pria besar itu. Dia langsung mengecek kartu itu dengan seksama.

"Nyonya Gara tidak punya janji dengan Anda hari ini," tukasnya sambil mengembalikan KTP-ku.

Kuterima kartu itu sambil memaksakan senyum. "Tolong sampaikan pada Nyonya Madeleine jika saya datang berkunjung. Sebutkan saja nama saya. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan padanya, dan dia tidak akan bisa menolak," kataku setenang yang kubisa.

Pria itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berjalan ke interkom yang terpasang di pagar rumah. Dari kejauhan, kulihat dia mengatakan sesuatu yang tidak dapat kudengar.

Kutarik nafas panjang. Dentuman jantungku yang cepat mengisi keheningan. Telapak tanganku yang gemetaran basah karena keringat dingin. Kukepalkan tanganku, tinjuku mengeras. Kuku-kuku jariku menekan telapak tanganku, nyaris sakit.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang