BAB 27

294 26 3
                                    

A/n
Hai semua...
Chapter ini adalah sebuah chapter santai yang agak bersifat filler untuk memecah ketegangan dan menjembatani antar arc (and I need some gud character developments). Setelah ini, barulah final arc dimulai.. Jeng jeng jeng.... Sebentar lagi klimaks, kawan..
Selamat menikmatii

===========================

Aku membuat diriku nyaman di kursi pesawat kelas ekonomi yang sempit. Punggungku terpaksa bersandar lurus agak menyakitkan. Kujejalkan tubuhku di antara sandaran tangan. Layar yang terpasang di sandaran kursi di depanku menayangkan jalur yang ditempuh pesawat ini, sedikit menyilaukan karena agak terlalu dekat ke mata. Di baris kursi seberang, seorang bayi menangis berisik.

Tentu aku bahagia. Ini JAUH lebih baik daripada pesawat jet pribadi Madeleine Gara kemarin.

"Oh, ya ampun," erang Marthen. Dia meregangkan tubuh. Aku menahan tawa mendengar suara derak tulang-tulangnya.

Dibandingkan denganku, dia jauh lebih menderita. Kakinya yang panjang tidak muat di ruang kaki antarkursi, jadi dia harus mengangkat lututnya, terjebak di posisi tidak nyaman. Punggungnya melengkung canggung, kedua tangannya diletakkan di atas sandaran tangan.

"Hey," panggilku. "Setidaknya ini lebih baik daripada diborgol ke kursi."

Marthen menatapku tajam dengan mata menyipit. "Kau bisa bilang ini baik. Badanmu sekarang tidak dilipat kayak origami."

"Kalau gitu, kenapa tidak naik yang kelas bisnis saja?"

"Atasanku pelit," katanya sambil terkekeh. "Nikmati saja. Sudah bagus kita diloloskan imigrasi tanpa paspor."

"Oh, aku menikmati kok." Aku menepuk lutut Marthen.

"Aku juga menikmatinya," geramnya.

Aku terkekeh.

Kami berdua lalu terdiam canggung. Karena tidak ada yang berusaha memulai percakapan, jadilah kami mencari kesibukan masing-masing. Marthen membuka hp-nya dan mulai asyik memainkan sebuah game absurd yang setelah kuintip ternyata hanyalah melempar-lempar sepotong bacon menggunakan wajan supaya bacon itu jatuh di atas benda-benda aneh. Sesekali dia bahkan cekikikan sendiri. Aku akhirnya puas dengan bermain tic-tac-toe dan sudoku di layar hiburan pada punggung kursi depanku.

"Eh... Karina," tiba-tiba Marthen memanggilku.

"Iya?" aku mengalihkan pandangan dari tic-tac-toe ku yang nyaris kalah telak.

"Apa kau tidak apa-apa?" tanyanya pelan.

"Tidak apa-apa? Apa maksudmu?"

"Tidak, aku hanya..." dia mendesah. "Situasi beberapa hari terakhir itu gila. Taruhannya nyawa. Dan kemarin ibumu baru mengungkap banyak hal yang mengejutkan. Aku tahu ini sama sekali tidak mudah. Jadi... Apa kau tidak apa-apa?"

Aku tersenyum menanggapinya. Jarang kulihat dia menurunkan topengnya. Tapi, sekalinya dia melakukannya, ketulusan yang muncul begitu luar biasa. Aku bahkan tidak tahan melihat kekhawatiran yang terpancar di matanya. "Tenang saja. Aku baik. Sungguh."

"Oh." Dia mematikan hp-nya dan memalingkan wajah, kini menatap keluar jendela pesawat. Awan-awan yang kelihatan mirip kapas lembut menggulung di sana.

"Apa kau baik-baik saja?" aku balas bertanya.

Selama beberapa saat, Marthen terenyak. Dia kelihatan kesulitan memproses perkataanku. "Kenapa kau bertanya? Akulah yang seharusnya mengkhawatirkan keselamatanmu, bukan sebaliknya."

"Apa salahnya bertanya? Apa aku tidak boleh peduli?"

"Yah... Gak salah juga, sih..." gumamnya.

"Jadi? Apa kau baik-baik saja?" Setelah menanyakannya, aku jadi takut kalau aku terlalu memaksa Marthen.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang