BAB 14

788 72 3
                                    


"Hati-hati," Marthen memperingatkanku di parkiran mall yang luar biasa besar ini sebelum kami turun dari mobil. "Aku sudah lama memperhatikannya, jelas sekali Madeleine adalah orang yang temperamental."

"Dia mudah tersulut, kan? Dengan gampangnya mengambil tindakan gegabah seperti mengirim seorang tukang pukul untuk mengancam seseorang di depan rumahnya saat tengah malam, padahal tindakan itu bisa membahayakan dirinya sendiri?" ujarku sinis.

Terasa perubahan pada atmosfer mobil. Marthen berubah dingin secara mendadak. "Seriuslah. Dia gampang main kasar. Ada saatnya kami tidak dapat melindungimu."

"Jika kalian tidak bisa menjamin keselamatanku, mengapa kalian menjadikanku tumbal? Membahayakan nyawa warga sipil?"

"Sepertinya kita telah membahas itu sebelumnya," jawabnya datar.

"Oke, jadi kalian yakin 'ratu' akan datang hari ini?" aku mengganti pertanyaanku. Hal ini juga sudah membebani pikiranku selama beberapa waktu.

Di samping kananku, lawan bicaraku kelihatannya sedang berpikir sejenak.

"Kami punya informan," katanya pada akhirnya. "Anonim. Dia mengirimkan email yang tidak terlacak asalnya ke alamat email pribadi Bu Ir. Info itu hanya sebatas keberadaan Maddie saja dan hal-hal lain. Awalnya kami tidak percaya, tapi tenyata semua infonya akurat."

"Si Anon tidak mengirimkan bukti?"

"Tidak ada, kecuali beberapa berkas mengenai beberapa perusahaan rekan kerja sama 'bisnisnya' Maddie dulu, termasuk perusahaan pamanmu."

"Lalu kenapa Maddie belum tertangkap?"

Keheninggan menggantung di udara.

Marthen mendesah. "Maddie selalu selangkah di depan kami. Selalu. Bu Ir curiga dia menaruh mata-mata di dalam kepolisian."

"Bagaimana kalian bisa tahu kalau informan itu bukan berasal dari Maddie yang ingin menjebak kalian?"

Hening lagi.

"Rahasia."

Hanya itu jawaban darinya.

***

"Karina Mirianti?" perempuan itu bertanya ragu-ragu.

Ini buruk. Sangat buruk. Seseorang mengenaliku?

Kuamati perempuan yang sebaya denganku itu sejenak. Rasanya ada sesuatu yang familiar pada orang tersebut. Suatu ingatan muncul di kepalaku.

"Stacia?" ucapku pelan.

"Ih, gak nyangka deh gua bisa ketemu elu di sini!" Tiba-tiba dia menarik tanganku dan memelukku erat.

Aku melirik Marthen. Matanya melebar dan mulutnya sedikit terbuka. Aku bisa meihat bahwa itu adalah ekspresi keterkejutannya yang asli, bukan akting dan tidak dibuat-buat.

"Udah berapa tahun kita gak ketemu, oh my God!" Perempuan itu melepaskan pelukannya. "Enam tahun ada kali ya? Terakhir pas nikahan gua kan?"

Aku hanya sanggup mengangguk pelan.

"Ferdi!" Stacia memanggil seseorang sambil menoleh ke belakang. "Sini bentar," dia melambaikan tangannya.

Selagi dia menoleh, aku berjinjit mencondongkan diri ke arah Marthen. "Teman kuliah dulu," bisikku singkat di telinganya.

Seorang lelaki datang, diikuti dengan seorang wanita berpakaian putih khas seragam pengasuh anak yang menggandeng seorang bocah balita.

"Ratu gimana? Lapor," suara Roy muncul di dalam telinga kiriku.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang