Hannah (Part 5)

482 59 6
                                    


1990

Tragedi itu berawal dengan sebuah panggilan telepon.

Sore itu mendung, agak gerimis. Surya belum pulang, sepertinya di jalan. Hannah pada akhirnya selesai memasukkan semua piring yang sudah kering ke dalam rak piring. Di sisi lain dapur, Karina duduk di meja makan sambil mencorat-coret selembar kertas bekas dengan krayon.

"Rin, gambar apa, Rin?" tanya Hannah sambil melipat celemek yang tadi dipakainya. Dia berjalan menghampiri putrinya.

"Cerita," gumam Karina dengan suaranya yang cempreng. "Cerita bikin sendiri."

"Cerita apa? Mama boleh tahu ga?"

Bibir mungil Karina mengerucut. Dia kelihatan berpikir sebentar. "Engga."

Hannah memeluk putri ciliknya dari belakang, mengejutkannya, lalu menggelitiki perutnya. Suara tawa Karina adalah musik terindah yang pernah didengar Hannah. "Kalo ga mau kasih tahu, nanti mama gelitikin terus loh..."

"Iya.. iyaa... Aku kasih tahu..." Karina terkikik. Hannah menghentikan gelitikannya. Anak itu mengambil gambarnya. "Ini," dia menunjuk sebuah stickman merah muda, "Putri negeri dongeng. Dia lagi mau ngelawan naga jahat." Karina menunjuk apa yang dilihat Hannah sebagai bulatan merah dengan empat garis mencuat di bawahnya, dan dua bentuk aneh yang setelah dilihat-lihat adalah sayap. Dan kepala naga itu... Ya ampun. Bagi Hannah makhluk itu kelihatan seperti burung bergigi.

"Kok si Putri megang pedang sih?" tanya Hannah sambil menunjuk garis abu-abu di tangan si stickman.

"Iya. Si Putri kan keseringan diculik dan diselametin. Dia bosen. Kesel deh. Masa selama ini dia cuma diem aja pas diculik? Pertamanya emang dia ga bisa ngapa-ngapain, cuma bisa nunggu pangeran, ga bisa nentuin apa-apa sendiri. Awalnya sih dia pasrah aja, keseret-seret masalah yang ga ada hubungannya sama dia, tapi di paling akhir cerita dia mutusin mau berjuang untuk diri sendiri dan akhirnya nyelametin kerajaan." Karina menyengir lebar, menampakkan gigi ompongnya.

Hannah membalas senyum putrinya. Rasa bangga mengisi hatinya. Sejak putrinya bisa bicara, dia tak pernah berhenti membuat cerita baru setiap hari. Kalau soal keterampilan menggambar sih... ya... begitu.

"Terus akhirnya naganya mati?" tanya Hannah. Mendadak dia merasa bersalah membawa topik kematian pada putrinya.

"Engga. Si Putri ga akan ngebunuh, Mama. Ngebunuh itu kan jahat. Abis naganya kalah, dia diajak ngobrol, nyesel, trus akhirnya mereka semua jadi temen!"

Dia masih sangat polos, pikir Hannah muram. Di dunia nyata, ga ada yang seperti itu.

"Kalau mama jadi si Putri, apa mama bakal ngebunuh naga itu?" tiba-tiba Karina bertanya. Tidak ada ekspresi menuduh dalam kedua mata besarnya, hanya ada keingintahuan.

Hannah terdiam. Dia hanya bisa menatap gambar burung bergigi itu dengan perasaan campur aduk. Sejujurnya, dia tidak tahu jawabannya. Naga jahat dalam hidupku... Aku putus kontak dengannya. Aku sudah membunuh bagian hidupku yang itu.

"Ga akan mama bunuh dong," akhirnya Hannah menjawab. "Semua orang harus jadi temen. Kayak kita berdua, yang bakal sama-sama terus sampai selamanya."

Kriiing... Kriiing... Telepon rumah berbunyi.

"Mama angkat telepon dulu ya."

Karina mengangguk, lalu lanjut berkutat dengan gambarnya.

Hannah berjalan ke ruang keluarga, lalu mengangkat telepon, menempelkan speakernya yang dingin ke telinganya. "Selamat sore, kediaman Surya dan Joanna."

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang