"Aku menolak," kataku singkat, memecah keheningan. Entah berapa menit kami sama-sama diam seribu bahasa saat aku menata semua fakta yang baru saja diungkapkannya, mencoba memahami keadaan.
Aku bangkit berdiri. Kusilangkan kedua lenganku.
"Hah?" balas Marthen. Di mataku, dia kelihatan seperti anak kecil yang kebingungan.
"Aku menolak untuk membantu kalian," lanjutku. "Kenapa aku harus terseret-seret dalam masalah ini? Aku tidak berkewajiban untuk memenuhi permintaan absurd itu."
"Oh," gumam Marthen. Polisi itu ikut bangkit berdiri. "Kalau begitu..." lelaki itu mencabut sesuatu dari bagian belakang celananya, tersembunyi di balik jaket kulitnya.
Diarahkannya pucuk pistol itu ke wajahku.
"Masalahnya, Nona, kau tidak punya pilihan."
Waktu seolah berhenti. Kurasakan denyut jantungku bertambah cepat. Mataku terfokus pada senjata itu, dan wajah orang yang memegangnya mantap tanpa ragu.
Seketika itu juga, wajahnya mengeras. Dia tidak lagi memasang ekspresi jahil kekanak-kanakan. Kesan main-main pada dirinya langsung sirna, digantikan ekspresi serius yang dingin.
"Kalaupun kau tidak mau bekerja sama, kau sudah tahu terlalu banyak. Informasi seperti ini tidak bisa dibiarkan diketahui oleh 'orang yang tidak ada hubungannya'. Kau sudah terlanjur tahu informasi rahasia tadi," ujarnya. "Kemarin seseorang menyerangmu, maka kau akan dilindungi oleh polisi. Apapun yang jadi alasanmu, kau tak punya pilihan selain ikut dengan kami, terserah untuk perlindungan atau bekerja sama."
Perlindungan, hah? Hal itu lebih terdengar seperti penahanan agar informasi yang tadi sengaja dia beberkan padaku tidak bocor kemana-mana. Ini pasti sudah direncanakannya sejak awal. Dia memang tidak berniat memberiku pilihan.
Aku membuka mulut untuk berbicara, namun kututup kembali. Aku merasa seperti berhadapan dengan orang yang sama sekali berbeda. Ekspresinya telah mengubah wajahnya sedemikian rupa sehingga aku nyaris tidak mengenalinya lagi. Bahkan suarnya menjadi lebih dalam dan kaku.
Aku belum pernah bertemu orang semengerikan ini selama hidupku, orang yang sangat sulit untuk dilihat siapa dirinya sebenarnya, orang yang dengan mudahnya berganti-ganti topeng.
Kukumpulkan nyali untuk berbicara. "Memangnya kau boleh menodongkan senjata api pada warga sipil tidak bersalah?" tanyaku.
"Aku telah diperintahkan untuk melakukan apa pun untuk membawamu ikut dengan kami," jawabnya tanpa mengubah posisi tubuh. "Apa pun."
Suaranya mantap tanpa keragu-raguan. Kurasakan tanganku basah karena keringat. Tanpa sadar, aku melangkah ke belakang.
Marthen mengambil satu langkah lebar ke depan. Moncong pistol itu sangat dekat denganku. "Pergilah ke kamar dan ganti bajumu. Bawalah barang seperlunya."
Tanpa berkomentar, aku menurutinya. Aku membalikkan badanku dan berjalan ke arah tangga. Saat aku melewati kompres yang tergeletak di lantai setelah tadi kujatuhkan, kudengar suara langkah yang sangat lirih mengikutiku dari belakang.
Marthen berhenti berjalan beberapa langkah sebelum mencapai kamar tidurku di lantai dua. Aku masuk ke dalam ruangan itu lalu kukunci pintunya tanpa menoleh ke belakang. Aku langsung melesat ke lemari baju dan mengganti pakaianku dengan apa pun yang terletak di tumpukan paling atas. Setidaknya celana jeans biru dan kemeja polkadot tidak terlalu buruk.
Tak lupa kukenakan sebuah kupluk, atau topi ski, atau tutup kepala penjaga vila, atau apalah nama benda itu, di kepalaku untuk menutupi perban yang barusan dipasang oleh orang yang sekarang sedang menungguiku di luar dengan sepucuk pistol.

KAMU SEDANG MEMBACA
Genius?
Tajemnica / ThrillerKarina tidak pernah membayangkan seorang pengacara akan mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa almarhum pamannya yang tak pernah dia kenal mewariskan seluruh hartanya padanya. 'Mantan' penulis itu pun menemukan banyak kejanggalan dalam kehidupan san...