BAB 18

729 61 4
                                    


"Karina," panggil ayahku.

Aku menoleh ke arahnya. Mataku sudah tidak fokus lagi, diselimuti kantuk.

"Udah malem, tidur yuk," kudengar suaranya yang rendah dan lembut. Ayahku duduk di sampingku. Ditariknya diriku yang berontak ke dalam pelukan hangat raksasanya. "Sini papa gendong ke kamar."

"Aah.. Belom mau. Masih mau nonton tv," tolakku. Kulakukan perlawanan sekuat tenaga.

Ayahku berteriak, lalu berpura-pura kesulitan bergulat melawanku. Kami berdua tertawa tergelak-gelak saat berguling-guling di atas karpet. Ayahku menggelitik perutku. Aku cekikikan sambil menendang-nendang udara.

"Surya," kata ibuku. Nada suaranya sulit untuk dideskripsikan. Hawa dingin yang berat seperti langsung menyelimuti ruang keluarga begitu ibu memasukinya.

"Apa, Jo?" sahut ayahku, masih setengah tertawa bersamaku.

"Cepet bawa Karina ke kamarnya."

"Tapi, mah..." aku mencoba protes.

"Ga ada tapi-tapian. Anak kecil ga boleh begadangan. Nanti sakit loh."

Aku terdiam. Ada sesuatu yang aneh dari ibuku. Dia tidak terlihat seperti 'mama' yang biasa membuatkanku sarapan atau bermain di taman bersamaku. Tidak ada kesan keibuan di wajahnya. Untuk pertama kalinya, aku merasa takut ditatap olehnya.

"Emang udah mau nyampe?" tanya ayahku lirih. Dia bangkit berdiri, menjulang di sebelah diriku yang duduk kebingungan.

"Sur, tolong. Ini masalahku. Biarin aja aku yang nyelesaiin sendiri," ujar ibuku. Wanita itu melirikku sedih.

"Ini bukan masalahmu. Ini masalah kakakmu. Jangan biarin keluarga kita keseret-seret."

"Kakakku keluarga kita juga."

"Paling engga, tolong biarin aku bantu, Jo. Tolong."

Ibuku terdiam sejenak, sebelum akhirnya mendesah dan menjawab, "Kalau gitu, tolong bantu aku dengan cara ngebawa Karina ke kamarnya dan jangan turun ke lantai bawah sebelum urusanku selesai."

Aku mendongak, menyaksikan ketegangan antara kedua orang tuaku. Mereka pernah bertengkar sebelumnya, tapi tidak pernah seperti ini. Ibuku kelihatan sangat ketakutan, sementara ayahku putus asa.

Ayahku tampak seperti akan mengatakan sesuatu, tapi dia mengurungkan niatnya. Ayah hanya mengangguk.

Ding... dong...

Bel rumah berbunyi. Ibuku berjengit kaget. Ayahku menatap ke arah ruang tamu sejenak, sebelum akhirnya membungkuk untuk mengangkatku.

"Karina tidur ya. Masuk kamar terus langsung tidur. Jangan main-main dulu," bisiknya di telingaku saat dia menggendongku.

Kupeluk pundak ayahku yang lebar. "Emangnya kenapa sih, pah?"

"Udah... urusan orang gede. Kamu ga perlu tahu."

Saat ayahku membawaku menjauh, ibuku berjalan ke ruang tamu. Dapat kulihat dia menarik nafas panjang sebelum membukakan pintu. Di balik pintu depan, berdirilah sesosok lelaki yang sangat jangkung, lebih tinggi dari ayahku, yang memakai mantel hitam panjang yang mengerikan. Melihatnya, aku bersembunyi di balik bahu ayahku.

"Maaf datang malam-malam begini. Adrian sudah gila. Madeleine benar-benar naik pitam. Untung aku udah kabur sebelum semua ini terjadi," kudengar suara orang itu, suara berat laki-laki, namun tidak hangat seperti suara ayah.

Ibuku gemetaran di hadapannya. "Lalu... Yulia?"

"Yuliana..." Lelaki itu menggeleng.

Ibuku nyaris terjatuh, namun berhasil menangkap sandaran sofa sebelum terlambat. Ayahku, yang juga menguping, langsung menghentikan langkahnya dan berbalik badan, membuatku tidak bisa melihat mereka lagi. Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, ayahku kembali berbalik badan dan lanjut berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Gemeretak gigi ayah terdengar jelas olehku, yang sekarang mencengkeram erat bajunya.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang