hening

717 61 0
                                    



Aku lupa tanggal berapa itu. Yang kuingat, mungkin hal ini terjadi beberapa minggu setelah Oktavian menelepon. Aku tidak yakin, pikiranku kacau saat itu. Argh, mengapa aku tidak bisa mengingat detil ini!?!

Saat itu pagi hari, aku bangun dengan pusing kepala luar biasa. Sekujur tubuhku sakit, biasa. Ya, pasti pagi hari, karena setiap pagi Pak Dudut akan menyiram tanaman di halaman rumahnya sambil bersiul. Hari itu aku bangun dan merasa sesuatu yang aneh. Tidak ada suara air dari selang yang menghujani dedaunan, tidak ada suara siulan sumbang tanpa nada. Hanya... hening.

Aku pergi ke dapur lalu minum air, menunggu siulannya.

Hening.

Aku duduk di depan televisi, mencari remotenya yang hilang entah ke mana.

Hening.

Aku merangkak kembali ke tempat tidur, merintih kesakitan.

Hening.

Ada yang tidak beres.

Kuintip celah antara tripleks yang memalang jendelaku. Mataku sejenak dibutakan oleh cahaya matahari, mengirimkan gelombang rasa sakit. Halaman rumah sebelah kosong, tidak ada orang di sana. Selang airnya masih tergeletak di sebelah pintu garasi. Mungkin dia sedang pergi? Tidak, mobilnya masih ada di dalam garasi.

Aku mencoba berkata pada diri sendiri kalau semuanya tidak apa-apa, tapi di dalam hati aku yakin ada sesuatu yang tidak beres.

"Mungkin bangun kepagian," kataku pada diri sendiri. "Mungkin Pak Dudut belum bangun."

Aku ingat sekarang, saat itu aku duduk di bawah jendela menunggu suara siulannya terdengar.

Satu jam berlalu.

Hening.

Jantungku mulai berdebar-debar. Aku tidak bisa diam saja. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Mengumpulkan keberanian, aku beranjak ke pintu depan rumahku. Tanganku gemetaran saat memutar kunci pintu. Kuhela nafas panjang lalu kudorong pintu hingga terbuka. Cahaya matahari menusuk mataku. Aku melesat ke kamar mengambil kacamata hitam dan topi, lalu akhirnya melangkah keluar rumah.

Dengan kaki beralaskan sandal jepit, kulangkahkan kedua kakiku yang nyeri secepat mungkin ke pekarangan rumah sebelah. Paru-paruku berpacu kencang memompa udara saat aku akhirnya berdiri di depan pintu rumah Pak Dudut. Kepalaku berdenyut, rasanya sudah tidak kuat lagi, tapi aku tahu aku harus terus.

Kuketuk pintu rumahnya.

Hening.

Kuketuk sekali lagi, kali ini lebih keras.

Hening.

"Pak, ini Dio," panggilku.

Hening.

Kuberanikan diri mengintip lewat jendela. Pandanganku setengah terhalang gorden, namun aku bisa melihat dia, Pak Dudut, duduk di sofa depan televisi. Kulihat pantulan warna-warni cahaya televisi itu di kulit tangannya yang berbalut lemak, namun aku tidak mendengar suara apa-apa.

Hening.

Kugedor pintunya. Aku menoleh ke sekeliling. Sepi. Kuharap tidak ada orang yang menganggap aku seorang pencuri ingin menerobos masuk rumah orang. Di sebelah pintu masuk rumahnya, terdapat sebuah meja dengan barisan pot bonsai kesayangannya. Setelah sekali lagi melihat ke sekeliling untuk memastikan aku tidak sedang diawasi, aku mengangkat pot ketiga dan mengambil kunci cadangan dari bawah pot tersebut. Kukembalikan bonsai itu ke tempatnya semula.

Aku jadi ingat saat aku SMA aku pernah mengintip dari jendela, mengamati Pak Dudut keluar masuk rumah selama seminggu untuk mengetahui tempat persembunyian kuncinya. Setelah mengetahuinya, selama beberapa bulan aku masuk ke rumahnya saat tengah malam untuk menjarah kulkas pria itu saat stok makananku habis.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang