BAB 9

811 83 1
                                    



Aku tersentak bangun dari tidurku. Aku duduk di pinggir tempat tidur. Nafasku terengah-engah. Mimpiku tadi terasa sangat nyata. Aku berlari kencang di sebuah labirin batu, dikejar-kejar oleh sosok tanpa wajah.

Tak kusangka aku bisa tidur semalam. Setelah masuk ke dalam rumah, aku memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat dan bahkan membarikade pintu depan menggunakan sebuah meja dan kursi. Ya, panggil saja aku paranoid, tapi aku adalah seorang perempuan yang tinggal sendirian di sebuah rumah besar, yang tadi malam baru saja diserang oleh seseorang tak dikenal.

Tentu saja hal terakhir yang aku inginkan adalah menemukan seorang laki-laki asing berkeliaran di dalam rumah.

Aku bergidik mengingat peristiwa tadi malam. Sekujur tubuhku terasa nyeri. Kepalaku berdenyut-denyut. Seseorang, entah siapa, melakukan intimidasi fisik terhadapku, orang yang nyaris tidak tahu apa-apa. Aku dapat membayangkan wajah Corey mengatakan, "Sudah kuperingatkan kau, Nak," dengan ekspresi setengah mengejek. Aku sadar telah masuk dalam sebuah permainan yang berbahaya.

Haruskah aku lapor polisi?

Tidak. Polisi mungkin hanya akan memperburuk keadaan. Jangan ikut sertakan polisi dalam masalah ini.

Ataukah sebaiknya kutelepon ibuku?

Jangan. Memangnya apa yang harus kukatakan? "Pagi, Mama, ini aku, Karina. Maaf lama gak nelpon. Tadi malem di depan rumah, aku DIPUKULI sama laki-laki yang gak aku kenal, loh. Kepalaku dia JEDOTIN ke kap mobil, terus aku DIGENCET ke tembok, trus diancem deh. Alasannya, seminggu terakhir ini aku udah ngikutin jejak Paman Jacob setahun lalu, paman yang itu loh, kakaknya Mama, yang ngasih warisan ke aku, paman yang entah ada masalah apa sama Mama sampai Mama gak pernah nyeritain dia ke aku." Aku tidak akan berkata begitu pada ibuku. Aku tidak gila. Belum. Lagipula, aku tidak mau membuat ibuku khawatir.

Aku bangkit berdiri, lalu menyeret tubuhku yang lunglai ke dapur. Aku berjalan dengan limbung. Otot-ototku nyaris tidak mampu menggerakkan kerangka tubuhku. Aku tidak tahu pukul berapa sekarang. Matahari sudah bertengger cukup tinggi di langit. Kubuka freezer di atas kulkas dan kuraih kompres yang telah kudinginkan sejak malam.

Ah, dinginnya. Kupegangi kompres itu supaya tetap menempel di dahi kananku yang benjol membiru. Mata kananku mulai berair.

Dengan tangan kiri, kuambil beberapa lembar roti dari atas meja dapur, lalu kujejalkan semuanya ke dalam mulutku. Sambil berpikir, memutar otakku yang kacau balau, aku mengunyah dengan mulut penuh dan mencoba mengabaikan dahiku yang sakit.

Mungkin sudah saatnya aku berhenti menyelidiki semua ini. Nyawaku tidak sebanding dengan masa lalu paman. Mungkin sudah saatnya aku melupakan segalanya, lalu mencari pekerjaan yang stabil -mungkin guru bahasa, karena aku lulusan sastra. Sejujurnya aku tidak yakin, karena tidak ada apa-apa di CV-ku, hanya pengalaman menulis beberapa buku saja-, atau memulai bisnis bermodalkan harta warisan paman -bisnis APA? Aku bukan tipe orang pebisnis dan aku tidak mau lagi berurusan dengan orang semacam Madeleine Gara-, atau bahkan memulai kehidupan berumah tangga, memberikan ibuku cucu yang sudah dinanti-nantikannya -mungkin ditagih-tagihnya adalah kata yang lebih tepat.

Hah, memangnya mencari suami segampang itu?! Seorang suami tidak muncul begitu saja dari udara kosong! Aku yakin aku akan berakhir seperti pamanku, meninggal sendirian tanpa ada yang menemani. Mungkin aku harus mempertimbangkan memelihara kucing atau semacamnya.

Apa yang sedang aku pikirkan? Sadarlah! Seseorang menyerangku malam-malam dan mengancam akan membunuhku!

Jika sudah seperti ini, pilihan terbaik adalah menyerah, 'kan? Memangnya aku punya pilihan lain? Seseorang mengancam akan membunuhku jika aku ikut campur lebih jauh lagi!

Aku menelan semulut penuh roti yang sudah dikunyah. Kuambil telepon genggamku dari atas meja makan, lalu kumasukkan dalam kantong celana. Aku masih belum ganti baju sejak kemarin. Aku tidak bercermin. Pasti penampilanku hancur lebur tidak karuan. Untuk apa juga memikirkan penampilan jika nyawaku ada di ujung tanduk?

Dengan lambat, aku berjalan melintasi rumah. Kulangkahkan kakiku memasuki ruang tamu.

Dia berdiri di sana, laki-laki itu, mengamati sebuah lukisan pajangan yang tergantung di tembok.

Jantungku berhenti berdetak. Aku menghentikan langkah. Sekujur tubuhku terasa lemas. Kudengar suara pelan. Kompres berisi es yang kutempelkan pada dahiku menyelinap melalui jemari tanganku dan jatuh ke lantai. Lelaki itu menoleh.

Seorang laki-laki asing, entah bagaimana caranya, berkeliaran di dalam rumahku. Tanpa suara, ia seolah-olah muncul begitu saja dari udara kosong.

Aku tercekat. Aku ingin berteriak, namun sesuatu yang tak kasat mata seperti menyumbat tenggorokanku. Tubuhku gemetaran. Kuambil satu langkah mundur.

"Kau pintar," katanya, "tidak berteriak. Lagipula, tidak ada yang bisa mendengarmu."

"Siapa kau?" tanyaku. Suaraku bergetar ketakutan. "Apa maumu?"

"Tenang dulu sebentar, Karina." Lelaki yang mengenakan celana jeans dan jaket kulit berwarna hitam itu bergerak maju selangkah.

"DARI MANA KAU TAHU NAMAKU?!" aku berseru. Aku sadar bahwa orang yang menyerangku semalam juga tahu siapa namaku. Setidaknya mereka bukan orang yang sama.

Dia kembali melangkah maju. Dengan tangan kanannya, dia membuat gestur menenangkan. "Kau dan aku perlu bicara. Tolong-"

"Bagaimana kau bisa masuk ke dalam rumahku?"

"Karina-"

"JANGAN MENDEKAT ATAU AKAN KUTELEPON POLISI!" Dengan cepat, kukeluarkan telepon genggamku dari dalam saku celana.

Dia berhenti melangkah.

Betapapun enggannya aku untuk menghubungi polisi, hal ini sudah kelewatan. Biarkan saja polisi ikut campur dalam masalah ini. Aku memencet-mencet layar telepon itu untuk menunjukkan padanya bahwa aku serius. Kuberanikan diri untuk menatap lelaki itu, sebisa mungkin tempak mengancam.

Lelaki itu tersenyum. "Silahkan, telepon saja." Dia berdiri santai dengan jarak lima langkah dariku. "Memangnya kau tahu nomor panggilan cepat kantor polisi? Biar kuberi petunjuk, nomornya bukan nine-one-one."

Aku memasukkan nomor, lalu menelepon. Kudengar nada sambung dari speaker telepon genggamku.

Tiba-tiba kudengar suara dering telepon. Suara yang kedengarannya seperti teredam itu berasal dari suatu tempat di depanku. Lelaki itu mengeluarkan sebuah smartphone dari dalam kantung belakang celana jeans-nya. Dia menunjukkan layarnya padaku. Dipencetnya simbol telepon hijau di layarnya dan dinyalakannya loud speaker, sambil masih menghadapkan telepon genggam itu ke arahku.

"Pak, nomor HP yang Anda beri ke saya sekarang sedang menelepon," kata seorang wanita.

Aku masih mendengar nada sambung dari teleponku.

"Jawab saja," sahut lelaki di depanku.

"Baik, Pak."

Di ujung sana, seseorang mengangkat teleponku. "Selamat pagi, dengan layanan polisi dua puluh empat jam," kata sebuah suara. Suara itu sama persis dengan wanita yang berbicara di telepon lelaki itu. "Ada yang bisa saya bantu?"

Segera, kusentuh simbol telepon berwarna merah di layar dengan jempolku. Kuturunkan smartphone itu dari telingaku.

"Pak, teleponnya diputus," kata suara itu, kali ini dari telepon lelaki itu.

"Ya, benar. Kerja bagus."

"Terima kasih, Pak." Wanita itu menutup teleponnya.

Lelaki di hadapanku memasukkan smartphone-nya kembali ke dalam kantung celana. Sebuah cengiran jahil mengembang di wajahnya.

"Seperti yang sudah kubilang tadi, kau dan aku perlu bicara."

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang