author's note :
Silakan baca dulu bab 1 dan 3 agar tidak terlalu bingung. Paling penting bab 3 sih...=========================
Hari sudah malam saat aku tiba di rumah. Marthen menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah pamanku, lalu berkata, "Hati-hati."
"Hati-hati juga, Mar," jawabku, lalu melangkah keluar dari mobil. Hanya itu yang kami ucapkan. Tidak ada salam perpisahan, tidak ada perkataan emosional, tidak ada... Ya, hanya itu.
Berjalan dengan gontai, aku masuk ke rumah pamanku. Aku bahkan tidak menyadari apa yang kulakukan setelahnya. Aku tahu aku memanaskan makanan beku dengan microwave, mandi, makan, dan lain-lain, tapi segalanya terasa seperti berjalan dengan autopilot. Aku merasa seperti robot yang tubuhnya bergerak sendiri oleh perintah eksternal. Aku hanya... bergerak.
Dan setelahnya, aku berbaring di tempat tidur. Aku tidak ingat kapan aku terlelap, tapi iya, aku berhasil tidur.
***
Aku terbangun dengan sakit kepala yang menyiksa. Dunia terasa seperti berputar. Tubuhku tidak karuan. Perutku seperti bisa muntah kapan saja.
Kutengok telepon genggamku yang sudah di-charge semalaman. Oh, ada pesan baru. Katanya, dalam dua jam akan ada polisi datang untuk menjagaku. Aku baru ingat kalau aku sudah dimasukkan ke dalam program perlindungan saksi sekarang.
Dengan malas, kuseret tubuhku ke ruang duduk. Aku meringkuk di sofa.
Tempat ini sangat sepi. Hening. Tenang. Aku bahkan nyaris merasa damai. Setelah beberapa hari terakhir yang penuh dengan kegilaan, semua ini nyaris terasa tidak nyata. Bahkan, hingga sekarang aku masih berjengit setiap mendengar suara kecil. Panggil aku paranoid, tapi lebih baik was-was daripada mati.
Klik.
Kudengar suara kunci pintu depan dibuka. Aku langsung melompat berdiri, lalu mengendap ke ruang tamu. Seseorang melangkah memasuki rumah.
"Selamat pagi," sapanya saat melihatku.
Aku mendesah lega. Itu Lina, gadis yang dipekerjakan oleh Paman Jac untuk menjadi asisten rumah tangga. Aku lupa kalau aku memercayai satu duplikat kunci rumah padanya.
"Sudah pulang, rupanya," kata Lina.
"Haha. Ya. Sudah," tanggapku.
"Kaki tidak apa-apa?" dia bertanya.
"Kaki...?" Aku melirik satu kakiku yang terbalut perban.
"Ini cuma... terkilir."
"Jatuh?"
"Iya."
Tentu saja ceritanya tidak cuma itu, tapi aku masih punya kewarasan yang cukup untuk tidak menceritakan keseluruhan kisahnya. Terkilir karena bergulat melawan seorang wanita tua super kaya di dalam sebuah limosin yang melaju 180 kilometer per jam sambil dikejar-kejar beberapa mobil polisi bukanlah kisah yang bisa diceritakan begitu saja.
Menyadari aku sedang tidak dalam suasana hati yang cukup bagus untuk melanjutkan basa-basi, Lina segera meninggalkanku sendirian dan mulai melakukan tugasnya membersihkan rumah. Aku pun menyusuri rumah kelewat besar itu--aku lupa betapa besarnya bangunan ini--, mencari-cari kotak P3K.
Serius. Rumah ini sepi sekali. Tempat ini sama sekali tidak tersentuh kekacauan beberapa hari terakhir. Bahkan suara langkahku yang terpincang-pincang menggema lantang.
Sepi. Tidak ada lengkingan sirene polisi, tidak ada deru mesin jet, dan tidak ada letusan tembakan pistol. Sepi, tanpa suara Bu Irna, Roy, Madeleine Gara, mamaku, Victor, Marthen...
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius?
Misteri / ThrillerKarina tidak pernah membayangkan seorang pengacara akan mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa almarhum pamannya yang tak pernah dia kenal mewariskan seluruh hartanya padanya. 'Mantan' penulis itu pun menemukan banyak kejanggalan dalam kehidupan san...