BAB 30

302 39 21
                                    

Genius? tidak disponsori oleh apapun, jadi kalau ada apapun di sini, itu semua demi kebutuhan penceritaan.

Enjoy.

====================

Tiga jam kemudian

"Siapa yang nyetir?" tanya Marthen sambil berlari terengah-engah menghampiri mobilnya seperti dikejar setan. Wajahnya pucat ketakutan.

"Aku," jawabku singkat. Kedua kakiku kesemutan setelah berjongkok di samping mobil tersebut selama beberapa menit.

Marthen membuka mulutnya, kelihatan hendak membantah, namun dia menutupnya lagi. Dengan cepat dia meraih kunci mobil dari sabuknya, lalu melemparnya padaku. Kutangkap kunci itu. Aku bangkit, lalu duduk di kursi sopir. Marthen setengah terkapar di samping kiriku.

"Cepet, jalan! Jalan!" serunya panik.

Mesin mobil kunyalakan, udara dingin AC yang menyegarkan menghantamku, lalu kami melaju. Kuinjakkan kakiku dalam-dalam ke pedal gas. Tak lama, kami sudah meninggalkan kompleks rumah pamanku, kemudian memasuki jalan raya.

"Sebenernya gimana cara kamu keluar rumah?" akhirnya Marthen angkat bicara.

Ada dua polisi yang menjagai rumahku, satu di dalam rumah dan satu lagi di luar pekarangan, di dalam mobilnya yang diparkir di seberang rumah. Begitu Marthen mengangkat teleponku, kuberitahu dia situasinya. Untung saja dia bersedia membantuku. Kubilang kalau aku akan berusaha keluar rumah, sementara Marthen harus mengalihkan perhatian polisi yang di luar. Mobil Marthen akan diparkir di ujung jalan. Kami akan bertemu di situ.

"Di rumahku ada ART, Lina namanya," jawabku. "Kusuruh dia bikin polisi yang di dalam rumah sibuk, terus aku menyelinap keluar. Sebelumnya, kamarku kukunci, dan kubilang pada Lina untuk kasih tahu si polisi kalau aku lagi kerja di kamar dan ga bisa diganggu."

Marthen mengangguk singkat sambil mengatur AC agar menyembur tubuhnya yang berkeringat kepanasan. "Cerdas," gumamnya.

"Emangnya gimana kamu ngalihin perhatian polisi yang di luar?" tanyaku.

"The oldest trick in the book." Dia menyengir.

"Yaitu...?"

"Aku sembunyi di belakang semak, tunggu waktu yang tepat, terus..." Marthen diam sejenak, memberi jeda yang dramatis. "Kulempari mobilnya pakai batu."

Aku nyaris tersedak ludah sendiri mendengarnya. "Yang bener aja...?!"

Marthen mengangkat bahu. "Kerikil doang kok. Jangan ditiru, ini tindakan tak terpuji... Ya sudah. Habis itu aku lari sambil nutupin muka. Dia ngejar. Muter-muter keliling komplek berdua deh."

"Terus barusan pas lari ke mobil tuh lagi dikejar?"

"Dipikirmu apa, hah?"

Aku tak kuasa menahan tawa. Di sisiku, Marthen ikut tertawa bersamaku. Campuran panik, stres, dan adrenalin bisa membuat orang jadi sejenak berada di ambang kegilaan, ternyata.

"Kalau ketangkep bahaya tuh," ujarku, belum selesai tertawa.

"Ah, ga papa. Toh aku polisi ini. Pangkatku juga lebih tinggi dari bocah itu."

"Seorang Marthen Hariyadi Putra adalah intel polisi yang sedang di-skors," koreksiku. "Ga boleh pegang senjata, lencana disita..."

Marthen menatapku. Mulutnya tersenyum, tapi ada sekilas rasa sendu dalam tatapannya. "Harusnya kamu bersyukur kalau aku, yang kena skorsing ini, mau repot-repot membantumu begini. Aku mempertaruhkan kepalaku di sini, bawa kabur saksi yang harusnya dilindungin. Kalau ketangkep, udah, masuk penjara," katanya jenaka.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang