BAB 23

825 71 6
                                    



Tirai jendela bersinar keemasan terkena cahaya matahari. Dengung pelan pendingin ruangan mengisi keheningan. Kamar ini remang-remang. Kegelapan hanya terusik oleh cahaya sebuah lampu meja di belakang sofa dan tirai yang berpendar dengan cahaya matahari di baliknya.

Aku merapatkan selimut tebal selembut sutera di sekeliling tubuhku yang menggigil kedinginan.

"Argh.." geramku saat aku memaksakan diri meninggalkan tempat tidur yang empuk untuk menggapai remote AC yang menempel di dinding. Kupencet tombol benda kecil itu.

Dalam beberapa menit, suhu kamar hotelku meningkat.

Lebih baik, pikirku. Jauh lebih baik.

Sambil menyeret selimutku, aku berjalan terpincang-pincang ke sofa dan duduk asal-asalan di sana. Di cermin seberangku, sebuah onggokan kain selimut berwajah balas menatapku. Rambutnya yang lembab terbungkus handuk berantakan. Wajahnya dihiasi kantung mata hitam yang menggantung di bawah dua bola mata berair kemerahan.

Semalam aku tidak bisa tidur. Kepalaku terasa berat dan mataku pedih, namun aku tidak mampu terlelap.

Setelah semua kejadian kemarin, tubuhku luar biasa letih. Usai dihujani pertanyaan oleh para polisi, pada akhirnya aku-dan Marthen-dikawal oleh beberapa orang staf kedutaan besar dan beberapa polisi lokal ke sebuah hotel bintang lima. Marthen langsung jatuh tertidur begitu punggungnya menyentuh jok mobil, sedangkan aku hanya bisa menatapnya, bertanya-tanya bagaimana dia bisa tidur begitu cepat.

Kami tiba di hotel, dan aku serta para petugas harus menyeretnya keluar mobil sampai ke lobby hingga dia betul-betul terjaga. Seorang petugas hotel memimpin jalan ke kamar kami dan seorang staf kedutaan memberi kami masing-masing sepasang pakaian.

"Ehm.."

Marthen kelihatannya ingin mengatakan sesuatu padaku, namun ia mengurungkan niatnya. Dia hanya tersipu samar, lalu berbalik badan dan dengan cepat masuk ke dalam kamarnya, di dalam prosesnya sempat menjatuhkan kartu kunci kamarnya saat hendak membuka pintu.

Aku menatap pantulanku yang kini tersenyum kecil mengingatnya. Ya ampun, mataku benar-benar mirip panda.

Semalam, kukira aku dapat langsung tidur begitu berbaring di tempat tidur, tapi pikiranku kalang kabut. Aku tetap terjaga hingga tengah malam seraya pikiranku menayangkan semua kejadian yang terjadi kemarin. Suara letusan pistol terngiang-ngiang di telingaku. Setiap kali aku menutup mata, kulihat kelebatan pisau bodyguard Maddie. Masih bisa kurasakan tajamnya benda itu di leherku. Masih bisa kulihat darah, banyak sekali darah, yang menggenangi hanggar pesawat, dan tubuh yang terkapar tempat darah itu berasal.

Pada akhirnya aku sempat terlelap sejenak, hanya lima belas menit, sebelum terbangun karena mimpi buruk. Dalam mimpiku, aku dikejar oleh monster-monster tak berwajah yang menodongku dengan pistol. Kuhabiskan sisa waktuku bergelung di tempat tidur terbalut selimut sambil menatap tembok dengan keringat dingin, jantung berpacu, dan pikiran kosong. Aku bahkan tidak berani berkedip. Monster itu ada setiap kali aku menutup mata barang sedetik pun.

Sekitar pukul empat pagi aku berendam air panas, dan bahkan sempat tertidur tanpa mimpi selama setengah jam di bak mandi. Untung saja aku tidak tenggelam. Lucu juga, jika aku selamat dari cengkeraman gembong narkoba, namun mati tenggelam di bak mandi karena ketiduran.

Setelah berpakaian dengan pakaian baru dari staf kedutaan yang ternyata kebesaran satu ukuran, aku teringat akan sesuatu. Surat-surat Dio masih tersimpan di dalam tasku. Maka di sinilah aku sekarang, duduk teronggok merenungi suratnya.

Dio mengenal Hannah. Apa ini benar-benar Hannah yang dicari paman? benakku mencoba memproses semua itu. Ini tidak mungkin sebuah kebetulan.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang