BAB 3

1.9K 120 0
                                    

Rumah makan itu sederhana, tidak bisa dibilang mewah. Tetapi, ada kesan mewah dalam segi pelayanannya. Pemilik rumah makan tersebut mendatangi para pelanggan, menyapa mereka, dan bercakap-cakap dengan mereka. Wanita pertengahan lima puluh tahun itu tampak sangat ramah.

Aku duduk di pojok. Setelah memesan makanan, perhatianku kupusatkan pada buku catatan pamanku.

Entahlah. Hidupku berantakan. Aku tidak punya proyek tulisan apapun. Pikiranku buntu menyangkut pencarian ide tulisan. Tampaknya kini tujuan hidup terakhir pamanku telah menjadi tujuan hidupku juga.

Makananku datang, diantar oleh pemilik rumah makan itu sendiri. "Selamat makan," ujarnya. "Orang baru di komplek perumahan ini?"

"Ya," aku menjawab. "Baru pindah kemarin."

"Sepertinya tidak ada rumah yang dijual, akhir-akhir ini." Wanita itu mengerutkan dahi. Senyumnya masih tersungging.

"Saya pindah ke rumah paman. Beliau meninggal tiga bulan lalu. Ibu tahu? Rumah nomor 35?"

Ekspresi penuh pengertian muncul di wajahnya. "Ah, rumah si tua Jac. Semoga arwahnya tenang. Dia sering makan siang di sini sebelum pergi. Anehnya, selalu di kursi yang kau duduki sekarang. Andai saja aku tahu kalau dia terserang kanker. Setelah makan, dia masih selalu saja merokok."

"Seberapa sering beliau makan di sini?" aku bertanya.

"Tergantung." Wanita itu menengadah, mengingat-ingat. "Terkadang seminggu sekali, terkadang tiap hari."

Aku merasa ini adalah kesempatan yang baik untuk menanyakan sesuatu. "Apa beliau kenal atau pernah menyebutkan seseorang bernama Hannah?"

"Tidak, sepengetahuanku," kata sang pemilik rumah makan. "Kalaupun ya... entahlah. Akhir-akhir ini ingatanku memburuk. Kau tampaknya sangat penasaran padanya."

"Saya tidak pernah bertemu dengannya," timpalku. Hening sesaat. "Anda tadi bilang, beliau makan di sini sebelum pergi. Apa anda tahu ke mana?"

"Yang kutahu, Nak, dulu sebulan sekali pamanmu kontrol ke rumah sakit. Lalu, dia sering juga dirawat. Akhir hidupnya, Jac sering keluar masuk rumah sakit. Tapi, kuberi tahu, Nak, pamanmu itu sangat keras kepala. Dokter melarangnya merokok, dia tetap saja ngotot. Suster rumah sakit dikirim ke rumahnya untuk merawatnya, dia malah mengusir suster itu. Lama kelamaan, jarak antar kunjungannya ke rumah sakit semakin dekat. Kadang, dia kabur dari rumah sakit. Seringkali aku menemukan dia duduk di sini sambil menulisi buku yang kau pegang itu. Terkadang, itu terjadi 24 jam setelah kemoterapi. Pasti dia kabur dari rumah sakit. Jac bahkan masih membawa-bawa infusnya. Pertanyaan pertama yang selalu dia ajukan begitu dalang ke sini adalah, 'Apa tukang pos sudah datang membawa surat untukku?' Entah apa pentingnya. 'Sahabat pena,' jawabnya saat aku bertanya. Setahun terakhir, aku merasa ada yang aneh. Dia seperti melakukan pencarian pada sesuatu. Aku tidak tahu apa. Sepertinya hal itu sangat penting."

"Oh." Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku setelah mendengarkan penjelasannya yang panjang.

"Ya ampun. Aku meridukan pelangganku yang satu itu. Aku merindukannya, rokoknya, dan bahkan rontokan rambutnya."

"Apa Anda tahu rumah sakit apa yang dia datangi? Maaf. Saya orang baru di kota ini."

Wanita itu tersenyum muram. "Akan kutuliskan rumah sakit itu dan alamatnya untukmu, Nak. Sekalian juga angkutan umum yang harus kau naiki untuk pergi ke sana. Tapi, kalau kau bisa menyetir mobil, pakai saja sedan pamanmu. Akan kugambarkan petanya."

"Saya tidak tahu bagaimana saya bisa berterima kasih pada Anda," kataku.

"Tidak perlu. Semua ini demi kenangan akan si botak Jac."

Wanita itu berjalan pergi meninggalkanku. Aku menyantap makananku yang lumayan enak sambil berpikir.

Kemarin, setelah membaca surat pertama, aku kembali membongkar rumah itu karena aku kebingungan. Aku menemukan beberapa tiket kereta api yang tertanggal 20 Juli 2014 dan sekitarnya. Ada kemungkinan itu ada hubungannya dengan surat itu. Tapi... entahlah.

Apa tujuan seorang pria tua pegi ke kota lain? Kalau perlu, dia melewatkan pertemuannya dengan dokter untuk itu. Dia sudah tidak bekerja. Tidak ada gunanya dia pergi. Apa untungnya baginya? Kondisinya sudah lemah.

Aku menyelesaikan makananku, lalu membayar. Pemilik rumah makan tadi menyerahkan selembar kertas. "Demi pamanmu," katanya.

====

Perutku masih kenyang. Tapi aku memesan secangkir teh demi kesopanan.

Lelaki yang duduk di hadapanku tampak sangat lelah. Kantung matanya tebal dan gelap. Kemungkinan usianya sepuluh tahun di atasku, namun uban telah menguasai puncak kepalanya. Entah kenapa dia mau menemuiku.

Aku mencari tentang rumah sakit yang dimaksud sang pemilik rumah makan, rumah sakit paman, di internet. Saat aku mencari, kutemukan dokter ini, dokter yang kemungkinan besar adalah orang yang mengobati pamanku. Aku menghubungi nomor yang ada di laman web. Dia menjawabnya.

"Kita bertemu satu jam lagi di kantin rumah sakit. Jangan lama-lama. Waktu istirahat tidak panjang." Itulah yang dikatakannya padaku lewat telepon.

"Jadi, kau mau apa?" Tanyanya dingin.

"Saya ingin mencari tahu tentang paman saya, pasien anda." Entah kenapa aku mengucapkannya dengan nada bertanya. "Beliau meninggal tiga bulan lalu. Jacob Adrian?"

"Ah... si Jacob." Dia tertawa. Kesan dinginnya menghilang. "Pasien paling bandel dalam seluruh sejarah rumah sakit ini."

"Saya dengar beliau sering kabur."

"Bukan hanya sering. Selalu," dia memberi penekanan. "Pak tua cerdik. Saya ingat dulu dia muntah-muntah setelah kemo. Lalu, dia bilang, 'Semua ini menghancurkan mood-ku. Berikan aku sebatang rokok dan aku janji tidak akan rewel lagi,' dengan nada seperti anak kecil meminta permen." Sang dokter mendengus.

Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun menutupnya lagi. Aku mengurungkan niatku.

"Si Pak Jacob itu," lanjutnya, "memang sangat lucu. Dia orang yang tertutup. Tapi, begitu dia membuka mulutnya... Pokoknya begitulah. Pernah sekali waktu setelah dia dipasangi 'pipa panjang transparan mengerikan yang dijejalkan ke dalam dadaku', atau begitulah julukan yang diberikannya. Orang biasa lebih suka menyebut benda itu 'selang'. Masih di bawah pengaruh anestesi, dia bertanya, 'Dok, kira-kira apa yang akan dilakukan orang kalau dia hamil di luar nikah?' Saya tertawa mendengarnya. 'Kenapa? Bapak hamil? Hamil selang?' Lalu dia berkata, 'Mungkin...' Karena saya bingung, saya bilang, 'Kalau mau diapakan ya terserah yang mengandung. Aborsi? Dipertahankan? Kalau bayinya mau lahir, barulah saya tahu harus diapakan. Tapi lebih baik bawa ke dokter kandungan. Tapi, kalau bayi selang Bapak, lebih baik dipertahankan.' Setelah itu dia hilang sadar lagi. Ya ampun, kanker pulmo yang satu itu. Tidak setiap hari kita bisa menemukan orang seperti itu. Hidup sendirian tanpa keluarga. Saya baru tahu kalau dia punya keponakan."

Aku tersenyum kecil menanggapinya. Dalam diam, aku menyesap tehku yang ternyata tidak ada rasanya. Sejujurnya aku tidak yakin mengapa aku menemui dokter ini. Aku tidak tahu mau menanyakan apa. Sepertinya, sang dokter tidak akan memberi kemajuan dalam pencarianku akan misi paman.

"Hei, dok, saatnya praktek," seru seseorang dari luar kantin.

"Oke," jawabnya lemah. Pandangannya beralih padaku. "Sepertinya pertemuan ini sampai di sini dulu. Saya harus kembali lagi bertemu dengan puluhan orang sakit. Saya permisi dulu."

"Terima kasih atas waktunya, dok." Anda sebenarnya tidak membantu saya, pikirku.

Setelah mengamati sang dokter berlalu pergi, aku menegak teh yang tawar secara harfiah. Panasnya teh itu serasa membakar kerongkonganku. Setelah menghabiskannya, aku beranjak dari tempat itu dan berjalan ke parkiran. Aku memasuki mobil milik pamanku yang terparkir dengan janggal, mengingat kini kemampuan mengemudiku sudah karatan.

Aku mendesah. Dari tasku, kukeluarkan dua buah buku dari dalam tasku. Yang satu adalah buku catatan pamanku dan satu lagi adalah buku catatan kosong milikku.

Aku merogoh kantung-kantung tas sampai menemukan sebuah bolpen. Kubuka buku kosong itu di halaman pertama dan menulis sesuatu.

"Baiklah, Karina, sepertinya besok kau akan tamasya ke luar kota," kataku pada diri sendiri.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang