BAB 13

796 69 0
                                    

Saat ini, Marthen telah keluar mengambil mobil sesuai kata Irna. Jam digital di dinding menunjukkan pukul 14.52. Jujur saja, aku tidak merasa lapar. Semua runtutan kejadian beberapa hari terakhir telah membuatku kehilngan selera makan. Barusan, Irna telah menawariku makan, memaksa malah. Aku hanya mampu menelan beberapa suap nasi bungkus itu dan dua teguk penuh air.

"Ini," kata Irna, sambil menyodorkan sebuah benda kecil berbentuk mirip kacang sewarna kulit. "Pakai di telinga."

Kumasukkan benda itu ke lubang telinga kiriku, sambil menepis pikiran tentang bagaimana cara mengeluarkannya. Benda itu pas sekali, memang dirancang untuk itu.

"Coba dites," ucapnya.

Roy mendekatkan mikrofon yang menempel di headphone-nya ke mulutnya.

"Tes... tes... check sound. Satu, dua, tiga," kudengar suaranya seolah menggema di telinga kiriku.

Aku mengangguk dan kuacungkan jempolku.

"Nih." Kali ini Irna memberikan sebuah alat berwarna hitam dengan tombol-tombol di atasnya. "Gak usah diutak-atik. Cara kerjanya sebenernya mirip telepon biasa yang terhubung langsung ke Roy. Device ini sama alat yang tadi saya kasih prinsipnya sama kayak Bluetooth, gak boleh jauh-jauh dari satu sama lain. Nanti biar Marthen aja yang pegang ini. Kasihin aja pas di mobil. Nanti dia akan melindungi Anda, tenang aja."

Kuterima alat tersebut, lalu kumasukkan ke dalam tas. Di dalam hatiku, terasa gelenyar kelegaan. Untunglah mereka tidak menggeledah tasku. Sebenarnya tidak ada apa-apa juga di sana.

Terdengar suara langkah dari belakangku. Victor berjalan sambil berbicara dengan seseorang lewat handphone-nya.

"Iya... Maaf. Iya... Benar," katanya kaku dan sedikit formal kepada orang yang diteleponnya. "Iya."

Irna mengatakan sesuatu tanpa suara lewat gerakan bibirnya. Aku tidak dapat menangkap perkataannya. Victor, anak buahnya, menjawab dengan anggukan singkat.

"Ini lagi mau tugas loh, dasar anak muda. Cepet." Irna terkekeh pelan. Dia membuat gestur mengusir dengan tangannya, lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil menggeleng-geleng.

Lelaki itu mengangguk lagi, kali ini lebih dalam, dan berlari kecil ke luar. Di pekarangan rumah, dia melanjutkan percakapannya sambil berdiri membelakangi rumah, tidak terdengar dari sini.

"Siapa?" tayaku pelan.

"Ah, gak usah tegang begitu," ujar Irna. Telepon genggamnya bergetar. Langsung setelah dia mengeceknya, wanita itu bangkit lalu menambahkan tulisan tak terbaca di papan tulis.

"Nikita, pacarnya," lanjutnya sambil masih menulis. "Kenal pas nyamar di kampus. Kirain udah putus sejak lama tuh duaan. Gak direstui."

"Ga direstui sama Ibu? Sama orang tua?" dengan bodohnya aku bertanya. Seharusnya tidak kuganggu dia.

"Sama Marthen." Irna mengetik sesuatu di layar handphone itu. "Katanya disuruh fokus dulu biar gak ada gangguan atau info bocor, padahal saya aja menikah, punya anak dua, gak papa tuh."

Irna tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menatap ke arahku.

"Marthen bentar lagi sampai," tukasnya.

Aku mengerti apa maksudnya. Aku pun bangkit dari kursiku dan berjalan keluar rumah tanpa repot-repot mengucapkan selamat tinggal. Lagi pula, merekalah yang membutuhkan aku, bukan aku yang membutuhkan mereka. Keringat dingin mengucur, membasahi leher dan telapak tanganku. Aku memaksakan supaya langkahku tidak goyah.

Di pinggir jalan, aku berhenti. Belum ada tanda-tanda mobil mendekat. Victor, yang kelihatan gugup, ada di sebelahku. Tampaknya, teleponnya sudah selesai. Dia hendak berjalan masuk ke dalam rumah.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang