Aku, Pertemuan, dan Walkman.

1.2K 103 0
                                    

29 Agustus 2014

Jumpa lagi!

Apa kabar, pak? Semoga kau baik-baik saja. Sehat, segar bugar.

Ya, aku kembali menyurati kau lagi, Pak Jacob. Entah kenapa, aku tidak bisa melawan godaan untuk mengambil selembar kertas, bolpen, dan amplop, lalu menulis kepadamu. Aku tidak percaya ini, tapi aku suka melakukan ini. Menceritakan kisah hidup kepada orang yang benar-benar asing. Tak dikenal.

Ceritaku kali ini berawal di sebuah pertemuan. Semua anak dan orang tua atau wali diundang. Pertemuan apakah itu? Sosialisasi hasil psikotest dan semacamnya.

Jadi, beberapa minggu lalu, setiap anak yang telah positif diterima oleh SMA itu mengikuti psikotest. Aku? Aku mengerjakannya dengan asal-asalan. Peduli setan. Kau tahu lah... prinsip 'terserahlah' dan 'yee' dari surat terakhir.

Itu tes kepribadian dan IQ pertamaku seumur hidup. Terserahlah...

Saat itu, aku tidak pergi bersama pengasuhku, kalau dia masih bisa dibilang pengasuh. Aku sudah cukup besar untuk merawat diri sendiri, dan dia tahu itu. Jadi, dia sering minggat bersama pacar-pacarnya yang, lucunya, digilir. Hari ini dengan si A, besok dengan B, lusa C. Dan mereka tidak tahu sama sekali.

Lanjut. Pada akhirnya, aku pergi bersama Pak Dudut. Lebih tepatnya, aku membayar Pak Dudut supaya datang dan berpura-pura menjadi ayahku atau semacamnya.

Tentang pertemuan ini, aku tidak peduli sama sekali. Begitu juga dengan Pak Dudut. Jadi, selama pertemuan, dia duduk di kursi, menyilangkan lengannya di atas perutnya yang gendut, bersandar, dan tertidur. Orang tua di sebelahnya sepertinya terganggu, tapi aku cuek saja.

Sementara itu, aku mendengarkan musik dari Walkman tua yang dihadiahkan Pak Dudut padaku saat ulang tahunku. Ya, benar, Walkman. Sulit dibayangkan benda besar itu masih berfungsi, tapi benda itu masih berfungsi, sampai sekarang, malah.

Mengenai musik, aku suka klasik karena kompleksitasnya. Aku suka jazz karena ekspresi diri pemainnya, terutama saat jam session. Aku suka rap, rap yang masih asli, karena kesan marah dan protes dari orang-orang Ghetto. Aku suka pop, karena bisa 'terjual', musik yang telah berubah fungsi menjadi mesin pencetak uang. Bahkan aku suka reggae karena memberi kesan teler menggunakan ganja.

Tetapi, keseluruhan, aku suka rock. Semua variasinya. Aku tidak yakin kenapa. Aku hanya... suka. Tapi, aku curiga aku telah terkontaminasi oleh selera Pak Dudut, 'teladanku'.

Kenapa malah sekarang aku membahas soal musik? Kembali ke topik semula.

Jadi, sambil mendengarkan deru drum dan lengkingan gitar elektrik, aku menundukkan kepala dan menutup mata. Aku tidak menaruh perhatian pada orang yang sedang berceramah sampai mulutnya berbusa di depan. Tidak... itu hiperbola.

Saat satu album sudah kudengarkan, aku mengangkat kepalaku dan membuka mata. Kumatikan alat yang sangat canggih di zamannya itu. Di tanganku, terdapat sebuah map bertuliskan namaku yang di awal pertemuan kuterima. Isi map itu adalah hasil psikotestku. Pak Dudut masih tertidur. Dia mendengkur pelan.

"Nah, angkatan ini luar biasa!" Ujar pembicara, siapapun dia. "Berdasarkan tes IQ, ada dua jenius yang sedang duduk di antara kita. Langka sekali. Dalam tes ini, poin 130 ke atas merupakan standar kita untuk jenius."

Aneh, setahuku kalau bukan 140+, ya 170+. Tergantung standar. Itu yang pernah kubaca.

Ruangan dipenuhi riuh rendah. Aku menguap bosan dan kembali menutup mataku sambil meniru gaya Pak Dudut.

Slide presentasi berganti. Terdapat jumlah-jumlah anak yang terletak di tingkat kecerdasan tertentu. Pada angkatan ini, persebaran anak-anak ada di average, high average, superior, dan genius. Di dalam hati, aku mengkasihani dua anak yang memiliki IQ tertinggi. Pasti mereka akan dipercayakan banyak hal dan orang akan berharap banyak dari mereka. Kasihan.

Orang di depan bicara lagi, entah apa. Lalu, terdapat interupsi dari salah satu penyimak, salah satu orang tua murid. Kubuka mataku dan kulihat orang itu. Wajahnya yang angkuh menyapu seisi ruangan.

Dengan lantang, dia bertanya, "Pak, anak saya 151. Jadi, bagaimana ya, Pak?"

Oh ya ampun. Ada satu kata yang terlintas di pikiranku saat itu. Sebenarnya banyak sih, tapi yang menjurus pada hal itu ada satu yang paling utama. Arogansi. Ya sudahlah, terserah dia saja.

Ruangan dipenuhi decak kekaguman. Pak Dudut menepis lalat dari wajahnya dan lanjut tertidur. Aku melihat sekilas wajah anak itu. Wajah penuh kebanggaan dan sok. Entah itu hanya interpretasiku terhadap bentuk wajahnya, atau memang benar begitu ekspresinya.

Si bapak yang di depan mengatakan sesuatu. Aku tidak mendengarkan. Kubuka map di tanganku dan kucari kertas bertuliskan perolehanku. Dari awal, semua orang telah membuka map, kecuali aku. Kutemukan kertas itu, lalu kubaca.

183

Oke terserah...

Aku memasang kembali headset di telingaku dan memutar musik metal. Ya ampun, aku lapar sekali. Kapan semua ini berakhir?

Sebulan kemudian, saat semua telah resmi masuk sekolah, aku ditempatkan di kelas yang sama dengan si 151 itu. Oktavian, namanya. Ternyata pembagian kelas dilakukan berdasarkan angka-angka aneh itu. Penjurusan di kelas dua. Kuharap sekolah menempatkanku tidak sejurusan dengannya.

Aku bingung. Apa gunanya membagi-bagi orang berdasarkan angka yang dia peroleh dari sebuah tes yang bodoh? Apa itu berarti yang mendapat angka tinggi lebih baik dari yang rendah? Belum tentu. Tidak ada jaminan.

Akan ada masalah yang muncul antara aku dan persepsi guru-guru terhadap nilai, antara aku dan kepala sekolah beserta guru BK, terlebih lagi antara aku dan si arogan Oktavian. Tapi semua itu di surat selanjutnya.

Hey! Namanya dan sifatnya berima! Keren! (Oke, sekarang aku jadi norak)

Jadi segini dulu suratku. Sebenarnya aku masih ingin melanjutkan, tapi tanganku pegal. Jadi kita sudahi di sini dulu saja.

Maaf, dari kemarin aku sedikit berkesan menuntut meminta suratku dibalas. Sebenarnya aku tidak ingin menerima balasan. Sejujurnya aku takut kalau suratku dibalas. Aku hanya ingin menjadikan surat-suratku itu 'wajar', seperti surat dari sahabat pena normal.

Tunggu suratku selanjutnya ya...
Tertanda,

Yohandio :)

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang