BAB 26

264 31 0
                                    

a/n
Kalau mau, disarankan baca BAB 15 dulu, baru baca ini. Tapi engga juga gpp... Biar lebih paham sih, baca aja. Tapi terserah. Hehe.

=============================

Keheningan menyelimuti ruangan. Aku, Marthen, dan ibuku saling pandang.

"Terima kasih atas kooperasinya," kata Marthen, lalu dia mematikan perekam di telepon genggamnya.

Kami diam, masih berusaha memproses semua informasi yang dimuntahkan ibuku. Semua ini bukti kuat. Sekarang, tinggal menunggu sidangnya Madeleine Gara. Itu berarti aku harus menyeret paksa ibuku pulang ke Indonesia untuk bersaksi di pengadilan.

Ibu meminun tehnya yang sudah dingin. "Kamu ga akan komentar apa-apa?" tanyanya padaku.

Aku hendak menggeleng, tapi ada satu hal yang ingin aku komentari.

"Johann Sebastian Bach," ucapku pelan. Suaraku terdengar serak. "Dionysus. Hernan Cortez."

Ibuku hanya mengangguk.

"Yohandio Hernan," aku berbisik.

Mendadak ibu mengangkat kepalanya. "Dari mana kamu tahu nama itu?"

Aku menekur, tidak menjawab.

"DARI MANA KAMU TAHU?!"

"Dio itu 'dia', bukan?" aku balas bertanya.

"Dari mana kamu tahu nama itu, Rina?" tanya ibu dengan suara bergetar.

"Aku nemuin suratnya," jawabku. "Dia kirim surat, banyak, ke Paman Jacob. Pas aku pindah rumah, aku nemu surat-surat, disimpen di lemari besi."

"Surat?"

"Dia cuma... cerita."

"Cerita apa?"

Aku mengangkat bahu. "Segalanya."

Ibuku mendesah berat. Dia mengubur wajahnya di dalam kedua telapak tangannya. "Gimana cara dia bisa kenal sama Jac?"

"Mereka ga saling kenal." Aku diam, berpikir sejenak. "Habis paman didiagnosis kanker, dia mulai ngelakuin penyelidikan. Dia nyari orang bernama Hannah. Hal terakhir yang dilakuin paman adalah ngelacak mama. Terus, suatu hari paman ga sengaja nabrak orang di stasiun kereta. Singkat cerita, paman ngasih dia kartu nama, dan surat mulai berdatangan ke rumah paman. Orang itu Dio."

"Nyonya Hardy," tiba-tiba Marthen angkat bicara. "Apa yang terjadi pada bayi di cerita Anda?"

Ibu menghela napas panjang. "Habis percakapan di mobil dengan Corey, aku ketemu sama Pak Dudi. Aku minta tolong untuk bawa bayi itu ke tempat rahasia. Bahkan aku aja ga tahu di mana, supaya kalau sesuatu yang buruk terjadi, lokasi bayi itu tidak bocor dariku. Dia tetap aman."

"Bagaimana cara kalian menghidupinya?" tanya Marthen.

"Ceritanya panjang," gumam ibu. "Kau tahu Tiffany Gara? Sekarang Tiffany Riyandani?"

Marthen mengangguk. "Putri angkatnya Madeleine."

"Singkat cerita, aku punya masalah dengannya. Dia akhirnya tahu kalau aku tahu tentang bisnis keluarganya. Dia masih SMA dan tidak begitu... cerdas. Jadi, kupakai itu jadi senjata. Kuancam dia. Aku bilang, 'Sewaktu-waktu aku bisa lapor polisi, dan keluargamu tamat'."

"Jadi?"

"So I blackmailed her," ujar ibu dingin. "Kuperas dia. Kubilang, 'Kalau kamu tidak mau aku membocorkan informasi ini, kirimi aku uang setiap bulannya.' Ini berlangsung hingga bertahun-tahun. Uang darinya kukirim ke Pak Dudi, lalu dipakainya untuk anak itu. Ini tindakan buruk, aku tahu." Wanita itu terdiam sebentar. "Lalu terjadi kekacauan. Besar. Aku tidak ingat detilnya, tapi keadaan berakhir dengan aku mengatakan pada Dio kalau Tiffany Gara adalah ibunya."

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang