Menjejalkan sesuatu..?

1K 77 1
                                    

9 Desember 2014

Aku merasakan gelenyar kepuasan saat berjalan keluar ruangan. Entahlah... aku baru saja melakukan 'itu' di hadapan seluruh murid angkatanku dan seluruh guru!

Sudah dapat diprediksi, kepala sekolah dan guru BK mengejarku. Lalu, seperti biasa, mereka menyeretku ke ruang BK.

"Apa yang kau lakukan tadi?" Sang kepala sekolah bertanya penuh amarah.

Dengan enteng, aku menjawab, "Kan bapak lihat sendiri tadi saya ngapain. Buat apa bertanya? Bapak bisa simpulkan sendiri, kan?"

Bu BK ikut serta dalam pembicaraan. "Kenapa sikapmu seperti itu?" Tanyanya lembut.

"Apa tadi, hah? Jarimu?!" Kepala sekolah berteriak.

Aku tersenyum. "Wah... sepertinya Bapak sudah terpengaruh Hollywood, ya. Bukannya Bapak pernah bilang, 'Jangan sampai terpengaruh yang kebarat-baratan'? Loh, kok Bapak sendiri terpengaruh? Arti gerakan itu bukan cuma..." aku terdiam sejenak mencari kata-kata yang tepat. "Organ reproduksi pria."

"Terus apa, hah?!" Kemarahannya memuncak.

Dengan gaya menggurui, aku berujar, "Orang Romawi Kuno memaknainya berbeda. Itu bisa berarti, 'Kau menyebalkan'. Tapi, berdasarkan apa yang saya baca, frasa spesifik itu juga mengandung arti, 'aku ingin menjejalkan sesuatu ke dalam...'" aku berhenti sejenak. "Anus milikmu?" Ucapku dengan nada bertanya. Aku tidak yakin apa yang akan diperbuatnya selanjutnya.

Sepertinya sudah tidak perlu diceritakan lagi kalau sang kepsek naik pitam. "Satu kata dari saya dan kau bisa dikeluarkan dari sekolah!"

Aku mengangkat kedua tanganku setinggi kepala, dengan ekspresi menyerupai orang yang ditangkap polisi namun tidak bersalah.

"Pak, apa Bapak lupa? Beberapa menit lalu, Bapak menyatakan bahwa angkatan ini lulus 100%? Dengan begitu, secara resmi saya sudah lulus. Jadi, apa yang saya lakukan tadi sama sekali sudah tidak di bawah tanggung jawab Bapak. Karena itu, Bapak tidak berhak menindak saya. Saya melakukan hal tadi setelah saya lulus. Saya sudah lepas dari sekolah ini."

Mereka sadar aku benar. Dua orang dewasa itu terdiam, mencari kata-kata. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi.

"Selamat tinggal, Pak, Bu. Terima kasih untuk tiga tahun terunik sepanjang hidup saya."

Dan aku pergi tanpa menoleh ke belakang.

Selama beberapa hari berikutnya, aku bisa dibilang kabur dari rumah. Aku takut perolehan nilaiku itu membuatku dikejar-kejar wartawan, ditelepon presiden, diwawancarai di televisi, dan hal-hal semacam itu. Tapi, untung saja anak dari provinsi sebelah mendapat 49,80. Jadi, aku bisa dibilang aman.

Tidak ada yang tahu kemana aku pergi. Tapi, jika kau bertanya pada pustakawan kota, pasti dia tahu ada anak usia SMA yang setiap hari pergi ke perpustakaan, membaca buku-buku filsafat, dan bermain permainan interaktif anak balita di ruang anak.

Aku sesekali ditegur staf perpustakaan kota. Tapi aku tidak pernah membuat masalah di sana. Jadi, mereka membiarkanku. Toh perpustakaan itu sangat sepi pengunjung.

Aku sesekali mengobrol dengan tukang parkir yang bekerja di sana. Jika ingin makan, aku makan di warung bobrok pinggir jalan bersama supir angkutan umum. Aku setengah berharap akan 'salah gaul' dan akhirnya menjadi supir juga. Setidaknya begitulah aku memaknai tulisan 'salah gaul' yang sering ditempel di kaca depan mobil mereka. Tidur tidak terlalu masalah untukku. Aku tidak tidur berhari-hari. Tapi aku sempat terlelap saat siang hari di perpustakaan. Anggap saja itu istirahat singkat.

Setelah semua kehebohan pasca ujian dan kelulusan SMA selesai, aku kembali pulang. Seperti biasa, sang pengasuh 'minggat'. Aku memilih untuk tidak pergi ke rumah sebelah, rumah Pak Dudut.

Singkat cerita, aku mengisi liburan dengan menjadi pengangguran. Dana terus mengucur dari kakek nenekku, jadi tidak ada masalah. Tapi, mereka mengancam akan menutup keran mereka apabila aku tidak kuliah. Jadi, aku mencari universitas.

Aku diterima di sebuah universitas yang cukup bagus hanya karena nilai NEM-ku. Aku mengambil jurusan gizi masyarakat, atau semacamnya, aku tidak terlalu ingat namanya.  Aku juga tidak peduli. Yang penting, aku tetap diberi uang oleh kakek nenek.

Aku juga mendapat tempat kos yang lumayan. Murah, jelek, tapi setidaknya kamarnya luas. Ditempati dua orang, kamar itu cukup lega.

Saat aku resmi pindah ke indekos, 'pengasuh'ku sejak aku batita di-PHK olehku. Kuberi dia pesangon yang lumayan, tidak sebanding dengan kinerjanya beberapa tahun terakhir.

Sejauh ini, hidupku agak aneh, namun nikmat. Unik, meskipun banyak bagian yang menyebalkan. Aku masih sering tertawa sendiri saat mengingat peristiwa 'jari tengah'. Tapi, peristiwa itu menunjukkan kalau 'si idiot' bukan idiot. Sepanjang sejarah sekolah, tidak ada anak yang pernah bertindak sekurang ajar itu terhadap kepala sekolah. Tapi, hey! Aku mencatat sejarah.

Sementara itu, keadaan sedikit canggung saat teman sekamar kosku masuk. Kami bisa dibilang berkebalikan 180 derajat. Perbedaan kami sangat mencolok, tapi ada satu persamaan yang pada akhirnya akan membuat salah satu dari kami terluka.

Romansa.

Tapi itu di surat- surat selanjutnya, ya, Pak Jacob. Saya doakan sehat selalu!

Yohandio :)

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang