BAB 25

761 65 0
                                    

Dua jam kemudian, aku, Marthen, dan Eddy duduk bersisian dengan canggung di dalam MRT.

Eddy Chen namanya, salah satu polisi lokal yang mengawal kami. Usianya jauh lebih muda dari kami, bahkan sepertinya lebih muda dari Victor--

Jangan pikirkan Victor, batinku setelah dihinggapi sebersit rasa bersalah. Aku melirik Marthen sejenak, yang sedang melamun memandangi jendela, lalu kembali mengurusi urusanku sendiri.

Pagi tadi, setelah adu argumen dan negosiasi yang runyam, pada akhirnya aku dan Marthen menyelinap keluar dari hotel dengan sedikit tipu daya dan banyak keberuntungan. Kami dikejar, tentu saja, namun singkat cerita hanya Eddy yang berhasil menaiki MRT yang sama dengan kami, dan kami pun 'dibekuk'. Pada saat itulah Eddy menerima telepon dari rekan Eddy yang menerima telepon dari atasannya yang menerima telepon dari staf kedutaan besar yang menerima telepon dari Pak Yusuf agar membiarkan kami menemui siapapun yang ingin kami temui secara pribadi. Aku juga telah membuat dengan sangat jelas agar lokasi pertemuan ini dirahasiakan oleh polisi muda itu. Maka di sinilah kami, dengan Eddy yang bersungut-sungut karena harus mengawal dua saksi bandel yang nyaris tersesat dua kali karena salah naik MRT.

Kurang lebih singkat cerita seperti itu, bayangkan saja sendiri. 

Semua ini di luar --dan bahkan menyalahi-- segala prosedur standar yang ada, aku tahu, tapi apa yang bisa dibilang standar dalam situasi gila semacam ini?

"Here's our stop," kata Eddy sambil memberi isyarat pada kami untuk turun saat kendaraan kami mendekati sebuah stasiun.

Kami pun mengikuti arahannya, turun dari MRT hingga keluar dari stasiun. Tujuan kami adalah kawasan permukiman di dekat bandara yang sama sekali tidak glamor seperti kawasan wisata mewah tempat hotel kami berada. Setiap beberapa menit sekali, sebuah pesawat melintas di atas kami, menenuhi udara dengan suara bising mesinnya. Dengan muka masam, polisi muda itu memimpin jalan kami melewati deretan rumah-rumah kecil menuju sebuah apartemen tua kelabu dengan jemuran berwarna-warni menghiasi balkon-balkonnya.

Kami bertiga menaiki lift bangunan tersebut hingga ke lantai yang sesuai dengan alamat di SMS dari ibuku. Kali ini, aku yang memimpin jalannya untuk mencari apartemen yang tepat. Marthen berjalan di belakangku sementara Eddy berjaga di paling belakang.

Pintu apartemen itu tampak sedikit usang, namun dari jarak antar pintu apartemen kusimpulkan bahwa unit apartemen itu berukuran cukup besar. Dengan huruf-huruf yang dicetak tebal, terdapat sebuah plakat bertuliskan "HARDY" terpasang di sebelah pintu, tepat di bawah tombol bel.

Dengan perut melilit, aku memencet bel tersebut.

Satu menit, tidak ada jawaban.

Kupencet bel kembali.

Dua menit.

Tiga menit.

Klik.

Terdengar suara kunci dibuka. Lalu satu lagi. Lalu suara selot dibuka. Dan satu selot lagi. Lalu suara selot rantai. Lalu bunyi biip pelan saat alaram elektrik dimatikan.

Mama belum berubah, pikirku sambil mengamati ekspresi kebingungan dua lelaki yang menyertaiku. Ada sedikit rasa jijik yang muncul dalam hatiku saat mendengarkan ritual pembukaan kunci pintunya.

Pintu pun mengayun terbuka perlahan-lahan, hanya selebar lima sentimeter. Sebuah mata yang dikelilingi keriput dan digantungi kantung mata gelap menatap kami satu persatu dari balik bukaan kecil tersebut.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang