Hannah (Part 6)

412 52 11
                                    



Tengah hari. Sepi. Para karyawan sedang keluar. Sedang jam makan siang, katanya.

Hannah melenggang melewati meja-meja kantor yang kosong, dikawal Pak Dudi Reksa, kepala staf keamanan Jacob. Untungnya, di pintu masuk kantor, pria gemuk jangkung itu mengenali Hannah sebagai adik Jacob, lalu mempersilakannya masuk. Hannah-lah yang memilihkan orang itu sebagai pengawal Jacob lima tahun lalu.

Itu dia. Di ujung lorong. Pintu kayu berpelitur itu adalah mulut gua menuju sarang naga, ruang kantor Jacob. Hannah berjalan menghampirinya, berusaha keras menenangkan diri. Tapi dia jauh dari tenang. Jantungnya berdebar kencang hingga terasa naik hingga ke tenggorokannya. Setiap napas yang ditariknya terasa berat. Tangannya berkeringat dingin. Perutnya mulas.

Aku bisa melakukan ini, pikir Hannah.

Setiap langkah membawanya mendekat. Puluhan skenario berkecamuk dalam benaknya.

Hannah membanting pintu itu terbuka. "JACOB! Bisa-bisanya lu ngelakuin ini?!" Dia langsung melesat menuju Jacob dan menarik dasi kakaknya. "Gua kecewa sama elu."

Tidak... tidak... aku tidak akan melakukan itu, dia membatin sambil menggeleng, mengusir imajinasi liar itu dari pikirannya. Hannah tidak akan bertindak seperti itu. Tapi apa yang harus aku katakan nanti? Beberapa jam sebelumnya, ide ini terasa sangat brilian, tapi sekarang gagasan untuk melabrak Jacob terlihat seperti ide terbodoh yang bisa dipikirkan seseorang.

Hannah menghentikan langkahnya yang gugup. Pintu itu kini benar-benar berada di hadapannya, bukan lagi imajinasi. Yang kali ini betulan.

"Pak Jac," seru Pak Dudi. Tok... tok... tok... Dia mengetuk pintu. "Ada tamu untuk Bapak."

"Suruh dia masuk," sahut sebuah suara dari dalam ruangan.

Pak Dudi mengangguk sambil tersenyum kecil ramah pada Hannah, lalu membukakan pintu. Hannah menarik napas panjang, mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya, dan melangkah masuk ruangan. Pintu ditutup di belakangnya.

Ruang kerja Jacob gelap. Satu-satunya sumber cahaya adalah sebuah lampu baca di atas mejanya yang penuh tumpukan kertas. Cahaya putih itu menerangi wajah Jacob, yang sedang duduk bersandar di kursi kerjanya, menghisap rokok. Setelannya licin cemerlang, rambutnya klimis diberi gel. Asap rokok pekat menggantungi seisi ruangan.

Hannah membuka mulutnya, hendak bicara, namun dia tercekat. Dia berdiri diam dalam bayangan. Meskipun tadi dia sudah merancang belasan kalimat yang akan disemburkannya pada Jacob, kini tidak ada kata yang berhasil mencapai lidahnya, hanya ada pahitnya asap.

"Uli ngasih tahu lu, ya?" tanya Jacob datar. Suaranya kedengaran lebih dalam dan serak dibanding empat tahun lalu.

Tak mampu bicara, Hannah hanya mengangguk.

"Di mana dia sekarang?"

Hannah menelan ludah. "Bukan urusan lu."

Jacob mendengus. Dia menghisap rokoknya, lalu terkekeh pelan, asap mengalir keluar mulutnya. "Empat tahun, dan itu kalimat pertama yang lu katakan ke gua."

Semua keragu-raguan Hannah langsung lenyap. "Tadinya sih gua pengen bilang, 'Pergi aja lu ke neraka.' Tapi gua ga yakin bahkan neraka mau nerima elu."

Mendengar perkataan Hannah, Jacob tertawa miris. Dia mengetukkan rokoknya ke asbak.

"Gua tahu segalanya Jac," desis Hannah. "Segalanya."

"Hmph..."

"Bagaimana bisa lu... lu..."

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang