BAB 29

243 27 3
                                    


Aku menurunkan surat itu, kebingungan. Isi tulisannya jelas omong kosong. Kolonel, celana sobek, Malaikat Maut, Spongebob... Semuanya sekilas terlihat seperti halusinasi sakau.

Seketika, kata-kata terakhir paman muncul di pikiranku. "Keluarkan aku dari sini! Aku harus menghentikannya! Tepat tiga bulan dua minggu dari sekarang! Tolong lepaskan aku! Aku HARUS menghentikannya melakukan itu! SESEORANG HARUS MENYELAMATKANNYA!" Tiga bulan dua minggu... Itulah yang tertulis di surat ini. Waktu kematian Dio menurut sang Malaikat Maut. Saat detik-detik terakhirnya, paman membicarakan Dio.

Dengan tangan gemetaran, kulihat kalender di hp-ku. Terdapat pin merah di tanggal kematian pamanku. Tepat tiga bulan dua minggu dari hari itu...

Besok.

Kulihat lagi amplop surat Dio. Tulisan tipis di bagian dalamnya menakutiku.

Bacalah dengan hati-hati. Setiap detil adalah petunjuk. Setiap awalan adalah kunci : dia mengawasi.

Tidak mungkin isi surat itu hanya omong kosong. "Setiap awalan adalah kunci," gumamku sambil membaca ulang suratnya. "Awalan... Kalimat? Paragraf?"

Kubaca setiap huruf pertama paragraf-paragraf surat tersebut. "S-T-E-F-A-N-O," bisikku.

Mereka mengawasi, begitulah katanya. Aku bahkan tidak tahu apakah mereka memantau telepon dan internetku. Mereka mungkin membaca surat-suratku. Itulah kenapa dia menulis surat yang begitu penuh teka-teki.

Stefano. Dia mengawasi.

"Tidak mungkin cuma segampang ini," ujarku pada diri sendiri. Petunjuk nama Stefano itu pasti berhasil dipecahkan dengan sangat mudah oleh pamanku. Mungkin itulah yang memicu keadaan shock-nya hingga harus dilarikan ke rumah sakit, dan akhirnya berujung pada kematiannya.

Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, bagaimana cara Dio bisa tahu tentang Stefano? Dan, lebih mengerikannya lagi, bagaimana bisa Stefano tahu tentang Dio? Lelaki itu adalah pembunuh yang dipekerjakan Maddie. Apakah Maddie sudah tahu keberadaan Dio? Apa yang diinginkan mereka darinya?

"Setiap detil adalah petunjuk," kuulang-ulang terus kalimat itu di mulutku.

Detil... Pandanganku beralih pada buku catatan kecil yang juga ada di dalam amplop itu. Buku bersampul batik tersebut lusuh. Lembar-lembar halamannya sudah menguning. Kubuka halaman-halaman awalnya dan kubaca kata-kata yang tertulis di sana.

Aku terkesiap. Seketika, aku langsung melesat menuju kamar tidurku. Dengan panik, kucari surat-surat Dio yang lain. Setelah menemukannya, aku kembali ke perpustakaan dan duduk di sofa. Aku butuh mengecek kebenarannya. Jika ingtanku benar, maka seharusnya itu ada di dalam surat yang membahas tentang masa SMA-nya.

Ya, benar. Aku menemukannya. Di surat yang membahas bagaimana dia di-bully oleh Oktavian, menggosok kamar mandi dengan sikat gigi, dan membicarakan soal Albert Einstein dengan guru BK, aku menemukan hal itu.

Dalam surat itu, tertulis :
Dia [guru BK] memberikanku sebuah buku catatan dan sebuah bolpen. "Di halaman pertama, tulis namamu. Di halaman selanjutnya, tulis apa yang paling kamu inginkan di dunia. Ibu janji tidak akan membacanya. Buku itu milikmu."

Kulihat lagi buku catatan di tanganku. Pada halaman pertama, tertulis nama 'Yohandio Hernan' dengan tulisan jelek kecil-kecil. Sementara, di halaman kedua...

Aku ingin punya keluarga.

Yah... Aku punya keluarga, tapi bukan 'keluarga'. Sejak kecil aku sudah curiga kalau ibuku bukan 'ibuku' yang sebenarnya. Maksudku, mustahil kalau seorang Tiffany Riyandani adalah ibuku, tapi ya sudahlah. Kalau Hannah bilang dia ibuku, ya berarti itulah kebenaran yang harus kuterima.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang