BAB 31

468 40 24
                                    

Aku memarkirkan mobil Marthen di depan restoran yang berdiri di antara kompleks gudang peninggalan Belanda itu.

"Kita udah nyampe. Sekarang apa?" tanyaku.

"Pertama, beli makanan, apapun. Ga enak soalnya kalo parkir tapi ga beli," kata Marthen sambil menyengir.

"Pake uangmu. Jangan porotin aku lagi," ujarku ketus.

"Siap, Bu." Martin melongok ke sekitar, sebelum menunjuk ke jalan aspal di samping KFC. "Kedua, kita susuri jalan itu. Kalo dugaan kita bener, berarti suatu tempat di depan sana bakal ada jalan berbatu yang ngarah ke tempatnya Dio."

Dengan itu, Marthen meninggalkanku di parkiran sendirian. Dia berjalan memasuki restoran itu. Beberapa menit kemudian, dia keluar dengan semulut penuh entah apa. Dia menelan makanannya, lalu tersenyum.

Aku memutar mata. Tanpa suara, aku memimpin jalan menyusuri jalan aspal di samping restoran.

"Eh, Karina," panggil Marthen tiba-tiba.

"Apa?" jawabku dingin.

"Itu, ga matching banget sih penampilanmu."

"Apaan sih? Yang kupakai sekarang kan bajumu," kataku menahan marah. Aku tidak percaya di situasi seperti ini Marthen masih bisa bercanda.

Berjalan bersisian, aku meliriknya. Wajahnya masih memasang cengiran menyebalkan khas dirinya, tapi tangannya sedikit gemetar. Saat itulah aku menyadarinya. Marthen gugup. Sepertiku, dia juga ketakutan.

"Apanya coba yang ga nyambung?" aku bertanya.

"Bajumu sekarang kan kayak anak metal begitu," jawabnya. "Sedangkan kalungmu mungil manis bentuk hati."

Secepat kilat, aku langsung memasukkan kalung itu ke dalam kausku.

"Ada apa?" tanya Marthen, kali ini dengan lembut.

"Ga papa. Ini cuma..." Aku ragu-rahu sejenak. "Kalung ini hadiah ulang tahunku yang ke-15 dari mamaku. Ini pemberiannya yang terakhir sebelum mama... pergi. Aku ga pernah ngelepasin ini kecuali pas mandi."

"Oh..." Marthen membuang muka.

"Gimana denganmu?" aku balas bertanya. Kamu punya ga barang sentimental kayak gitu?"

"Aku... Ada." Marthen menggulung kedua lengan bajunya ke siku, menampakkan sebuah jam tangan di pergelangannya. Jam itu luar biasa bagus, bahkan dihiasi dengan beberapa butir kristal. Hanya dengan melihatnya sekilas, aku tahu dia tidak mungkin mampi membelinya hanya dengan gaji bulanannya. Dari merknya, harga jam itu selangit.

"Itu hadiah?" tanyaku.

Dia mengangguk.

"Dari orang yang istimewa?"

Marthen tidak menanggapi.

Lalu, langkah kami berhenti. Jalan lebar itu bercabang di depan kami. Yang ke kiri adalah jalan aspal mulus, sementara yang kanan adalah jalan becek berbatu.

"Kanan?" Marthen bertanya.

Aku mengangguk mantap.

Kami berjalan tanpa suara. Perlahan tapi pasti, kami mendekati tujuan kami, apapun itu. Kami mendekat ke laut. Aroma amis garam menusuk hidungku. Di kanan dan kiri kami, berdirilah pagar kawat yang tinggi, dan di belakangnya, terdapat tumpukan kontainer-kontainer raksasa. Kami lanjut berjalan, dan pemandangan berubah. Kini, yang berjajar di sekitar kami adalah gudang-gudang tua yang sudah tidak terpakai. Jalanan pun semakin jelek, dengan lubang-lubang yang khas karena hasil dilalui truk-truk dengan muatan sekian ton.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang