Masa Kecil.

1.5K 113 1
                                    

5 Agustus 2014

Halo!

Aku tidak bohong, kan, tentang akan menyurati anda lagi? Bagaimana kabar anda? Baik? Semoga saja begitu. Saya doakan supaya keadaan anda baik.

Aku akan mengawali surat ini dengan permintaan maaf. Maaf, dalam surat ini dan seterusnya, aku akan mengganti sapaan anda berupa 'anda' menjadi 'kau' atau 'mu'. Maaf bila kau merasa ini kurang sopan. Jika memang iya, beritahukan saja padaku.

Ngomong-ngomong soal 'memberitahukan padaku', aku masih menunggu balasan darimu. Tidak apa jalau kau tidak berniat menjawab.

Surat ini akan mengawali keseluruhan ceritaku, cerita hidupku. Tapi, sebelumnya, aku berjanji aku tidak akan menyusahkanmu dengan berbagai macam pikiran pribadi yang rumit dan membingungkan, maupun kesimpulan-kesimpulan berdasarkan perspektifku terhadap dunia. Cerita ini akan kubuat dengan gaya cerita naratif (kalau aku tidak salah, hehehe). Akan kugunakan bahasa setingkat anak SD yang 'normal'. Tapi tetap saja akan ada curahan perasaan. Mohon maklum.

Baik. Ayo mulai!

Aku tidak pernah mengenal ayahku. Maksudku, nihil. Tidak ada sama sekali. Ibuku juga tidak pernah menceritakannya. Jadi, buat apa aku repot-repot bertanya? Bertanya padanya soal itu dan suasana hatinya akan uring-uringan selama seminggu penuh. Tentu saja aku penasaran. Aku pernah mencoba mencari tahu, tetapi tidak menemukan petunjuk apapun. Ya sudahlah...

Ibuku berasal dari keluarga yang mapan. Cukup kaya raya. Kakek nenekku memiliki perusahaan pengalengan ikan yang lumayan.

Sejujurnya, bukan hanya ayahku. Baik kakek, nenek, dan bahkan ibuku, aku tidak terlalu mengenal mereka. Aku memang bukan 'anak yang diinginkan'. Setidaknya mereka masih mau membiayai pendidikan dan kehidupanku. Jadi, aku tidak terlalu mempermasalahkannya.

Dari kecil, aku tinggal bersama seorang pengasuh. Kami tinggal di sebuah rumah yang tidak besar, namun cukup nyaman. Setiap bulan selalu dikirimkan uang untuk hidup, dan uang itu datang dalam jumlah yang cukup banyak. Aku curiga uang untuk kehidupanku itu 'dikorupsi' pengasuhku untuk membiayai gaya hidupnya yang mewah.

Seminggu atau dua minggu sekali ibuku mengunjungiku. Namun, kunjungan itu berkurang saat ia menikah dengan sesama anak pengusaha kaya. Apalagi setelah ia melahirkan adik-adik tiriku. Seumur hidupku aku hanya pernah bertemu mereka masing-masing dua kali.

Aku ingat sekali tetangga sebelah rumah. Aku tidak tahu namanya, tapi semua orang memanggilnya Pak Dudut, makannya aku ikut-ikutan saja. Panggilannya mencerminkan perawakannya. Dia tidak terlalu tinggi, namun gendut, sangat gendut. Pakaian sehari-harinya adalah calana pendek selutut dan kaus kutang putih bernoda keringat. Karenanya, perutnya yang penuh gelambir lemak sering menyembul keluar.

Aku tidak tahu apa pekerjaannya. Aku tidak pernah bertanya. Sehari-hari, dia kerjanya hanya menonton televisi sambil ngemil sesuatu yang manis.

Masa-masa SD? Tidak ada yang istimewa. Setiap kelas, aku selalu meraih peringkat pertama atau kedua. Tapi, bukan rahasia kalau nilai olahragaku sangat menyedihkan.

Masa itu, setiap anak egonya sedang berkembang habis-habisan, jadi tidak ada yang benar-benar peduli dengan pribadi anak lain. Setidaknya begitu menurutku saat aku masih SD. Karena itulah, aku bisa menikmati hobiku : duduk diam tanpa melakukan apa-apa dengan pikiran sendiri sebagai teman.

Uang jajanku sedikit (dijatah oleh pengasuh tidak bertanggung jawab). Sesekali, aku menabung untuk membeli buku. Dia, pengasuhku, selalu mengomel saat aku membeli buku yang setara dengan jenjang SMA, tapi aku tak peduli. Aku tidak pernah mengalami kesulitan dalam memahaminya.

Tapi, berkaitan dengan buku-buku itu, ada satu hal yang tidak kupahami. Kenapa sang kasir toko buku menatapku dengan pandangan seperti itu saat aku membayar?

"Serius, Nak?" Si kasir bertanya. Hah? Kenapa? Salah apa aku?

Lama-kelamaan, aku bosan dengan itu. Lalu, hari-hariku biasanya diakhiri dengan kunjungan ke rumah Pak Dudut. Entah bagaimana, gumpalan lemak itu berhasil menjadikan dirinya sebagai 'role model' atau panutan anak kecil lugu ini. Serius, aku tidak bohong.

SMP? MEMBOSANKAN. Tidak ada yang menarik. Teman-teman kini dipenuhi gejolak hormon yang membuat mereka ditumbuhi jerawat menjijikkan dan tertarik pada lawan jenis. Aku? Semakin menarik diri dari pergaulan.

Nilai-nilaiku kendor. Aku tidak belajar. Memangnya saat SD aku belajar? Tidak! Tapi kali ini 'berbeda'. Dan sejujurnya aku tidak peduli.

Ada dua hal yang melandasi hampir setiap hal yang kulakukan saat itu. Ini berdasarkan pikiran labil anak SMP. Yang pertama disebut : "Aku tahu aku bisa melakukannya, dengan sangat mudah malah. Tapi aku tidak mau dan aku tidak suka. Jadi, untuk apa aku melakukannya?" Namun hal itu lebih sering kusingkat menjadi : "Terserahlah..."

Hal yang kedua adalah : "Tidak ada gunanya hal itu dilakukan. Tapi aku menyukainya. Jadi, atas dasar apa aku tidak boleh melakukannya? Tentu saja akan kulakukan!" Sering disingkat menjadi : "Yee!"

Makin aku besar, semakin aku menyadari bahwa jalan pikiranku dan teman sebaya sangatlah berbeda. Aku sering bertanya-tanya mengapa mereka sangat... dangkal? Begitu sederhana, begitu remeh, begitu tidak bermutu. Di saat pikiranku merupakan jalinan jaring-jaring rumit yang saling terhubung, pikiran mereka lebih seperti... sebuah garis lurus. Sekontras itu.

Aku ingat bertanya pada Pak Dudut, "Pak, kenapa aku berbeda?" Maksudku adalah berbeda dari anak lain.

Mulai saat itu, aku selalu dijejali dengan berbagai filosofi hidupnya. Jangan salah, aku punya filosofi sendiri. Tapi aku suka saja mendengarkannya 'berkhotbah'. Aku suka gayanya yang seolah-olah berkata, "Akulah yang paling benar di dunia. Ikuti aku dan kau akan menjadi sepertiku. Bahagia, benar-benar hidup, sempurna."

SMP saja belum lulus, aku mendaftar di SMA. Swasta, tentunya. Masalah biaya, biar saja kakek dan nenek yang mengurusnya. Aku ikut tes dan diterima. Sejauh ini hidupku datar-datar saja.

Semua itu berubah saat memasuki klimaks masa remajaku, SMA. Masa-masa yang penuh warna, namun kelabu. Masa-masa yang sarat akan pengucilan, pengacuhan, pengejekan, arogansi, pembalasan, nasihat guru BK, amukan kepala sekolah, dan acungan jari tengah. Ya, kau tidak salah baca. Jari tengah.

Kenapa? Hal itu lucu. Setidaknya bagiku, bukan bagi kepala sekolah.

Tapi itu semua disambung di surat berikutnya. Bagaimana, Pak Jacob? (Itulah yang aku asumsikan sebagai namamu karena nama itulah yang terulis di kartu nama. Maaf kalau salah) Apakah aku telah membuat kau bosan? Apakah kau sempat tertidur membacanya? Ataukah kau membakar atau membuang surat ini begitu kau menerimanya dari Pak Pos?

Kutunggu balasanmu, Pak Jacob. Meskipun kecil kemungkinannya bagiku untuk mendapatkan surat balasan.

Salam mendidih,

Yohandio :)

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang