"Apa maksudmu rencana kita bocor?!"
Aku bergidik mendengar teriakan Marthen saat bicara dengan rekannya lewat hp.
"Hmm... Ya..." gumamnya.
Kupegang erat sabuk pengamanku saat lelaki di sebelahku menginjak pedal gas, membuat mobil yang kami naiki melesat dengan kecepatan tinggi melintasi jalanan pagi yang masih sepi. Melihat pemandangan di sekitarku berubah menjadi kelebatan kabur, kedua kakiku terasa lemas.
"Oh, jadi dia tidak ada di rumahnya, ataupun di kantor, atau di mall, dan di tempat manapun yang kita tempatkan intel?" Terdengar jeda yang cukup panjang. "Kalau begitu temukan dia!"
Aku tidak berani berkata-kata apapun saat dia setengah melempar hp-nya ke dashboard mobil. Lelaki itu lalu duduk condong ke depan, membungkukkan badannya, sambil mencengkeram setir mobil hingga buku-buku jarinya memutih.
Setelah keheningan yang terasa seperti selamanya, yang hanya diisi dengan bunyi deru mesin mobil, pada akhirnya aku angkat bicara. "Kemana tujuan kita sekarang?"
"Markas, tentu saja. Memangnya kita punya tujuan lain?" Marthen balas bertanya dengan nada suara yang membekukan.
"Jadi..." setelah mengucapkan kata itu, aku diam sejenak memikirkan pertanyaan yang akan aku ajukan. "Memang benar ada mata-mata dalam kepolisian?"
Marthen tidak menjawab. Dia hanya mengerutkan alis sambil menatap tajam jalanan di hadapannya. Nafasnya semakin berat dan rahangnya menegang. Jelas, dia marah besar, frustasi. Aku yakin sepenuhnya dia tidak berakting.
"Satu tahun lamanya aku menyusup dalam bisnis kotor Maddie," tukasnya lirih pada dirinya sendiri dengan suara bergetar. "Satu... tahun..."
Kuputuskan untuk tidak mengatakan apa-apa lagi.
Tak lama kemudian, kami tiba di rumah 'markas' kemarin. Setelah memerintahkanku untuk menunggu di ruang tamu, Marthen keluar dari mobil dan membanting pintunya, meninggalkanku sendiri di dalam mobil. Marthen yang semalam sudah sama sekali tidak bersisa. Secara perlahan, aku pun mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Lelaki itu masuk ke ruangan dalam, sementara aku duduk mematung tak bisa berkutik di sofa ruang tamu yang keras. Bahkan udara yang kuhirup terasa menyesakkan. Kudengar suara-suara teriakan dari dalam.
"Bagaimana bisa dia lolos begitu saja?!"
"Di mana posisi orang-orang kita sekarang?"
"Dasar tidak becus!"
"Apa sudah ada kabar dari informan kita? Email baru?"
"Ya ampun, di mana Victor?" Dapat kukenali suara itu sebagai milik Irna.
"Dia sedang dalam perjalanan ke sini, Bu," Marthen menanggapi. "Dia akan sampai sebentar lagi." Ada sedikit nada membela pada suaranya.
"Bilang ke murid tercintamu itu untuk cepet!" bentaknya lantang. "Dan di mana Pak Yusuf dalam keadaan kayak gini?"
Aku mendesah. Kusandarkan punggungku ke sandaran sofa. Mau tidak mau, otakku bekerja memikirkan semua ini.
Mata-mata dalam kepolisian, orang yang membocorkan info ke Maddie. Hal itu berarti kemungkinan besar misi di mall kemarin gagal karena orang itu juga. Maddie sudah tahu dirinya akan disergap. Dia membuat kami pergi ke sana untuk bersusah payah mencoba menangkapnya, lalu menghindari kami dengan mudah. Dia ingin membuat kami kelelahan. Kalau begitu, dia sangat percaya diri seta tahu gerak-gerik dan strategi kami.
Terlebih lagi, timing-nya terlalu pas. Maddie tiba di mall, masuk, lalu naik ke lantai teratas dan lepas landas dengan helikopternya, semua itu bertepatan dengan gangguan komunikasi pada alat-alat para polisi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Genius?
Mystery / ThrillerKarina tidak pernah membayangkan seorang pengacara akan mengetuk pintunya dan mengatakan bahwa almarhum pamannya yang tak pernah dia kenal mewariskan seluruh hartanya padanya. 'Mantan' penulis itu pun menemukan banyak kejanggalan dalam kehidupan san...