Hannah (Part 4)

561 61 4
                                    



"Mau apa lu di sini?" tanya Hannah dingin.

"Hannah, mana emak?" Jacob berhenti berjalan. Dia berdiri terengah-engah beberapa langkah jauhnya dari tempat Hannah duduk.

Hannah merinding saat dia menyadari suara tawa lirih yang kedengaran keji lolos dari pita suaranya. "Mana emak? Haha." Dia menatap kakaknya dengan pandangan setajam pisau. "MANA EMAK?!"

"Hannah, tolong. Lu-"

"Lu berani-beraninya nanya begitu, Jac."

Jacob terdiam. Setelan jas mewah yang dia kenakan licin. Beberapa titik abu rokok menodai dasinya. Engahan napasnya menggema.

"Berani-beraninya lu."

Perlahan-lahan, raut wajah Jacob berubah. Awalnya marah, lalu bingung, lalu takut, lalu... ekspresi seperti habis ditampar. Akhirnya dia sadar apa yang terjadi.

Jacob mundur selangkah. "Emak... Emak..?"

"Emak udah ga ada, Jac," Hannah meludahkan kalimat itu, berusaha keras membendung air mata yang sudah mulai membasahi matanya yang kering. Dia tidak menyangka hatinya akan sesakit itu saat mengucapkannya.

"Ka... Kapan?"

"Tadi sore. Pas lu lagi entah di mana."

"Kenapa lu ga ngasih tahu gua?!"

"Surya nelpon lu entah udah berapa kali. Dijawab ga? Engga."

Jacob membuka mulut hendak bicara, namun dia menutup mulutnya lagi.

Hannah memalingkan muka. Dia tidak sudi menatap wajah kakaknya. Dulu, wajah itu selalu membawa kebahagiaan bagi Hannah. Kakaknya selalu mampu mencerahkan hari-hari tergelapnya. Sulit rasanya menjalani hari tanpa kehadiran Jacob. Tapi sekarang... Sekarang wajah itu hanya membangkitkan amarah yang membara dalam hatinya.

Sakit.

Ya. Sakit.

"Pergi, Jac," desisnya. Hannah mengepalkan tinjunya erat, berjuang keras untuk menahan dorongan yang amat besar untuk menonjok wajah itu.

"Hannah..." Jacob berbisik lirih. Suaranya memantul di dinding koridor rumah sakit yang remang-remang. "Maaf."

Sakit. Sangat sakit.

"MAAF?! ITU YANG LU BILANG TADI, HAH?" Hannah melompat berdiri. "MAAF, JACOB?"

Jacob mengambil selangkah lebar mendekati adiknya. Kedua tangannya membuat gestur menenangkan. "Gua minta maaf, Joanna. Gua tulus. Gua bener-bener menyesal. Tolong..."

"Jangan minta maaf sama gua, Jac. Minta maaflah sama emak."

"Gimana cara gua bisa minta maaf sama emak?" Setetes air mata mengalir menuruni pipi Jacob. "Emak... Emak kita udah..."

"Justru itu yang gua maksud, Jac. Emak udah ga ada, padahal seharusnya lu minta maafnya sama emak." Hannah menggigit bibirnya. Dia begitu marah hingga dia bisa merasakan hawa panas memanjat menaiki leher dan kepalanya.

"Hannah, denger dulu-"

"Lu tahu apa kata-kata terakhir emak?"

Jacob terdiam.

"'Di mana Jacob?' Itu kata-kata terakhir emak." Hannah harus menarik napas panjang supaya tagisnya tidak pecah. "'DI MANA JACOB?' Itu yang terakhir dibilang emak, Jac."

"Gua..."

"Lu di mana, Jac? Pas gua yang hamil lari-lari ke rumah sakit, lu di mana? Pas emak kesakitan, lu di mana? Pas emak berjuang dengan napas-napas terakhirnya untuk bertahan hidup, lu di mana? Pas emak MENYIA-NYIAKAN napas terakhirnya untuk nanyain ELU, lu di mana? Lu adalah orang terakhir yang ada di pikiran emak, Jacob. Bukan gua. Lu."

Perlahan-lahan, Jacob melangkah menjauhi Hannah. Dia meringis, menyandarkan lengannya di tembok, kepalan tangannya menempel di dahinya.

"Ini bukan pertama kalinya lu ga ada," lanjut Hannah. Sebenarnya, dia sudah tidak ingin lagi bicara dengan orang asing yang ada di hadapannya ini. Ya. Orang asing. Hannah merasa sudah tidak mengenal orang ini lagi. Tapi dia harus terus bicara. Jacob, orang asing itu, harus mengerti apa yang telah dia lakukan.

"Lu ga ada pas pernikahan gua." Hannah tanpa sadar menyentuh perutnya. "Lu kakak gua, Jac. Dulu, elu adalah orang yang sangat spesial buat gua. Ga ada yang lebih gua pengen selain berbagi momen-momen bahagia di hidup gua bareng elu. Bapak kita udah ga ada. Gua pengennya elu yang gantiin Bapak di pelaminan. Tapi itu dulu."

"Joanna..."

"Pas gua nikah, lu ga ada. Pas emak pergi, lu ga ada. Elu di mana, Jac?"

"Hannah, denger dulu. Gua sibuk-"

"SIBUK?! Sibuk ngurusin perusahaan lu itu?"

"Iya," geram Jacob. "Banyak hal yang gua pertaruhkan. Banyak banget yang ga bisa gua tinggalin."

"Lu bisa ninggalin emak lu yang sekarat," ucap Hannah sinis.

"Jangan ngomongin emak kita seenaknya kayak gitu," ancam Jacob.

"Jangan memperlakukan keluarga kita seenaknya kayak gini!" Hannah berteriak.

"Lah... Trus gimana dengan hidup gua? Lu ga mikirin masa depan gua? Masa depan perusahaan gua dan ribuan karyawan yang nyari hidup sama gua? Gua yang ngasih makan mereka. Gua yang menghidupi mereka dan ngasih uang untuk nyekolahin anak mereka. Bagaimana dengan mereka?"

"Bagaimana dengan GUA, Jac? Dengan emak? Lu dengan egoisnya mementingkan perusahaan dan kekayaan lu, dan ninggalin kami."

Jacob mendesah. "Kita berdua egois, Hannah."

Mereka berdua terdiam. Tubuh mereka saling menghadap satu sama lain, namun wajah mereka tidak. Mata mereka tidak bertemu, tatapan mata mereka sejauh timur dari barat.

"Jo...?" sebuah suara terdengar.

Kedua kakak beradik itu langsung menoleh ke arah sumber suara. Surya berlari menghampiri mereka. Sesampainya di sana, dia langsung memposisikan diri di antara dua saudara yang bertengkar itu, menjadi tameng Hannah dari Jacob. Surya menatap Jacob tajam. Jika tatapannya bisa membunuh, Jacob sudah mati.

"Ayo kita pergi, Sur," ujar Hannah dingin. "Ada pemakaman yang harus kita urus." Dia menarik tangan suaminya.

Dipimpin oleh Hannah, mereka berdua berjalan menyusuri koridor rumah sakit meninggalkan Jacob yang masih berdiri. Sendirian.

***

Saat pemakaman diadakan keesokan harinya, Jacob tidak hadir. Hannah tidak mengharapkan Jacob untuk hadir. Tidak, setelah pertengkaran hebat mereka kemarin. Hannah tidak tahu apa yang akan dia lakukan jika Jacob berani menunjukkan batang hidungnya pada saat itu. Untung saja dia tidak datang.

Saat Felis dikebumikan, Hannah melihat Uli berdiri sendirian di kejauhan, di ujung lain lahan pemakaman, namun tidak mendekat. Hannah tidak menghampiri Uli. Dia tidak mau. Apa yang harus Hannah katakan pada Uli seandainya dia mendekat? Semuanya sudah berakhir sekarang?

Saat menjelang tengah malam, Corey, yang langsung terbang dari Amerika begitu mendengar kabar, datang ke rumah Hannah untuk mengucapkan belasungkawa. Hannah tidak bicara banyak dengannya. Corey pergi tak lama kemudian ke kantor JAC Imports. Dari apa yang Hannah dengar, Corey langsung memukul wajah Jacob begitu mereka bertemu keesokan harinya, tapi bisnis tetap berlanjut. JAC masih berjalan. Tambah maju, malah. Hannah tidak peduli.

Itulah hari terakhir Hannah melihat ibunya, dan juga terakhir kalinya Hannah melihat wajah teman-teman dekatnya.

Terakhir kali... hingga empat tahun setelahnya.

1990. Tahun runtuhnya JAC Imports. Tahun meninggalnya Yuliana Roslyn. Tahun di saat segalanya hancur berantakan.

Genius?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang