Jam menunjukkan pukul 18.30 WIB. Sila kini sudah terlihat siap dan bersemangat hendak jalan-jalan dengan Duta. Tak ada henti-hentinya ia melihat penampilannya sendiri di depan cermin.
Senyuman merekah itu sangat mengekspresikan betapa bahagianya hari ini. Memang hanya Duta yang bisa membuat kegelisahannya hilang. Padahal tadi siang, Sila sangat overthinking.
"Kurang apa ya? Kemenoran apa nggak ya? Nggak sih kayaknya," tanya dan jawabnya pada diri sendiri.
Selama Sila bercermin, ia kembali melihat jam. Ternyata sudah pukul 18.45. Tapi kenapa Duta tak segera menghubunginya jika akan menjemputnya.
Sila sudah sedari tadi menelepon cowok itu. Namun tak ada respon sama sekali. Tiba-tiba hati Sila gundah, merasa tak enak. Tiba-tiba juga merasa khawatir pada Duta.
Kenyataannya, Duta baik-baik saja dari tadi. Tetapi perasaannya mengatakan bahwa Duta sedang tak baik-baik saja.
"Apa gue telpon lagi ya?" Sila kembali menelepon Duta. Nihil, justru handphone Duta sekarang tidak aktif.
"Kok malah nggak aktif ya? Masa iya ketiduran? Tapi nggak mungkin deh. Nggak mungkin kan nyokapnya dia ngebiarin dia tidur maghrib-maghrib?"
"Kok perasaan gue nggak enak?"
"Apa gue susul ke rumahnya aja? Toh ujung-ujungnya kita juga jalan. Bisa nggak ya izin sama ayah bunda? Bisa, harus bisa!"
Dengan mengumpulkan keberaniannya, alhasil Sila keluar kamar untuk izin kepada ayah dan bundanya.
"Mau kema Sil, rapi amat?" celetuk Hesty saat melihat penampilan putrinya yang sangat rapi itu.
Sila menyengir. "Sila boleh kan keluar sebentar?" tanyanya hati-hati.
"Kemana? Sama siapa? Malam-malam gini?" sahut Pramudya menyerocos.
"Sama.. Duta. Dia minta ditemenin-" Sila berpikir sejenak. Bodohnya, ia tak memikirkan hal ini tadi. "Ditemenin beli baju. Iya beli baju. Hehe."
"Tumben dia nggak jemput kamu? Biasanya kalau keluar-keluar gitu jemput kamu sekalian pamitan sama ayah bunda," ujar Hesty.
Sila menggaruk tengkuluknya yang tak gatal. "Soalnya..... ban motor dia bocor di tengah jalan. Jadi Sila yang nyamperin dia ke bengkel. Daripada nanti dia nunggu motornya selesai dulu, entar kemalaman. Jadi lebih baik Sila nyamperin."
Tak ada jawaban dari Hesty maupun Pramudya. Membuat Sila semakin ketar-ketir.
"Janji nggak lebih dari jam 8. Nanti kalau misal lebih dari jam 8, boleh marahin atau hukum Sila apapun. Tapi tolong izinin Sila ya, Yah, Bun.." pinta Sila memelas.
"Iya-iya.. Karena sama Duta, ayah bolehin," final Pramudya.
"Tapi ingat jangan malam-malam!" sambung Hesty.
Mata Sila berbinar. Ia hormat kepada kedua orang tuanya. "Siap laksanakan! Sila keluar dulu, ya.. Assalamu'alaikum.."
"Wa'alaikumsalam.."
****
Terlihat seorang cowok tengah santai di balkon kost-kostannya. Dengan adanya sepatu di tangan kiri dan sikat gigi di tangan kanan. Ia menyemur sepatu sembari bernyanyi.
"Aku memang pecinta wanita, namun ku bukan buaya. Yang setia pada seribu gadis. Ku hanya mencintai Nira.. Wouwouwoo!"
"AKU MEMANG-"
Mendadak lagu dari handphonenya terhenti karena ada orang yang meneleponnya. Dengan ekspresi jengkel, ia menggeser tombol hijau.
Ia sedikit bingung karena dari seberang sana terdengar jelas dentuman musik disko yang keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karya Untuk Duta
Teen FictionPersahabatan cowok cewek tanpa adanya perasaan salah satu atau keduanya itu bohong. Seperti halnya Sila, ia harus membohongi Duta, teman-temannya, dan perasaannya sendiri. Karena ia takut jika jujur, persahabatannya justru renggang. Sila tak mau hal...