16. Problem

37 3 0
                                    

Berkali-kali Duta menghubungi Sila, namun sama sekali tak ada balasan dari cewek itu. Setelah kejadian tadi siang, ia bertemu dengan Sila di parkiran saat pulang sekolah. Tapi Alfan memanggilnya untuk segera memulai latihan futsal.

Kini ia sangat resah dan bingung. Kalau begini caranya, bagaimana ia bisa fokus dengan pertandingan besok. Sudah puluhan panggilan dari Duta tak diangkat. Dan sekarang, diblokir.

Duta mengacak rambutnya kasar. "Lo ngerti nggak sih Sil, besok gue tanding?!" geramnya.

Ia meremat dan membanting handphone ke kasur.

Namun, tiba-tiba suara teriakan dari luar kamar mengalihkan perhatiannya. Jantungnya berdegup kencang. Lantas Duta langsung keluar kamar.

Prang

"Dasar nggak becus!" Pria paruh baya itu membanting vas ke arah istrinya.

"Ibu!" teriak Duta saat melihat ibunya tersungkur tak berdaya di lantai. Ditambah pecahan-pecahan kaca di sekeliling tubuhnya.

Ia merengkuh tubuh ibunya yang tengah menangis sesenggukan.

"Istri nggak berguna!" Sardi, ayah Duta, pria itu mengangkat bingkai foto dan akan ia banting ke arah ibu dan anak itu. Namun dengan cepat Duta menepisnya ke samping.

"Bangun lo Sarah! Jangan sembunyi di balik anak lo!"

Duta bangkit dan langsung menampar pipi sang ayah dengan keras.

"Sampai kapan ayah maki-maki ibu terus?! Kenapa ayah nggak punya hati?! Aku berusaha nggak benci ayah! Tapi kalau gini terus gimana aku nggak benci ayah?!" ujar Duta dengan nada tinggi disertai sedikit segukan karena menahan isakan.

Sardi memegang pipinya yang memerah sebab tamparan anak kandungnya sendiri itu. "Kamu berani sama ayah?!"

"Ayah berani sama ibu! Aku juga berani sama ayah!" balas Duta. Kini air matanya lolos dari pertahanan.

"Ibu kamu itu nggak becus ngurus kebun! Ayah jadi rugi! Duit ayah habis!"

"Duit ayah habis karena buat judi, minum! Bahkan ayah nggak kasih uang ke ibu buat kebutuhan sehari-hari! Sampai ibu harus buka laundry! Ayah sadar!" Bibir Duta bergetar hebat.

Setelah mengambil napas panjang, ia mendekati Sardi dan memegang pundak ayahnya itu. Ia berbicara lirih pada ayahnya, "Sampai kapan ayah kayak gini? Ayah nggak capek? Duta capek yah, anak laki-laki ayah ini capek. Capek lihat ibu sakit batin."

"Argh!" Sardi justru mendorong Duta dengan kuat hingga Duta ikut tersungkur di samping ibunya.

Sardi menodongkan telunjuknya di depan muka Duta. "Jangan ikut kebanyakan bacot lo! Lo masih kecil! Jangan ikut campur urusan orang tua!"

Kemudian, Sardi berjalan gontai menuju kamar dan membanting pintu sangat keras.

Sementara Duta, ia langsung memeluk Sarah kembali. "Ayah lagi mabuk, maafin ayah ya.. Jangan benci sama ayah." Sarah mengusap punggung Duta.

"Duta kasihan sama ibu.." ucap Duta dengan isakan.

"Ibu nggak papa, Ta.." Sarah melepas pelukannya. Tangannya beralih menangkup wajah putranya. "Percaya sama ibu, ibu nggak papa," katanya dengan senyuman penutup kesedihan.

"Ibu tidur di kamar Duta aja, ya," ujar Duta.

"Ibu tidur di kamar shalat aja. Kamu kan besok ada pertandingan. Jadi harus istirahat dan nggak boleh ada yang ganggu," balas Sarah.

"Tapi bu-"

"Udah.. Nggak papa.." Sarah meyakinkan putranya. "Gih istirahat, besok harus fit! Semangat!" Ia mengangkat kedua tangan Duta serta terkekeh.

Karya Untuk DutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang