14. Nobody Knows

1.7K 262 103
                                    

Keheningan yang terjadi di dalam mobil van memunculkan rasa tidak nyaman pada Hyeri. Keheningan saat ini terasa berbeda dari biasanya, terlebih lagi tadi dia sempat berdebat dengan Rosé dan memaksanya untuk segera kembali ke agensi setelah menyelesaikan penampilan di acara festival kampus.

Sebelum perdebatannya terjadi, memang telah terjadi sesuatu. Lalice jatuh pingsan dalam dekapan Rosé saat hendak kembali ke ruang tunggu. Dengan panik, Rosé berteriak meminta tolong kepada siapa pun yang berada di dekat mereka.

Begitu Lalice dibawa ke klinik kampus dan mendapat penanganan yang tepat, Hyeri mengajak Rosé pergi dari sana. Urusan mereka telah selesai. Namun, tidak disangka-sangka, Rosé menolaknya. Soloist terkenal itu tidak ingin pergi.

Hyeri pun bingung dengan tindakan Rosé. Mereka sudah mengantarkan Lalice ke klinik, lalu apalagi yang harus dilakukan? Gadis berponi itu hanyalah panitia yang bertugas mendampingi mereka selama acara berlangsung. Tidak lebih dan tidak kurang. Mereka tidak memiliki tanggung jawab untuk menunggunya hingga sadar.

Oleh karena itu, Hyeri bersikeras mengajak Rosé untuk pulang. Bahkan tadi dia secara tidak sengaja meninggikan suaranya karena sifat keras kepala Rose.

Hyeri menghela napas samar, menginjak pedal rem. Di depan ada lampu merah.

"Rosé-ya," Hyeri menoleh kepada Rosé yang sejak tadi terpaku menatap keluar jendela mobil. "Sebenarnya ada apa, eoh?"

Tidak ada jawaban yang di dapatkan oleh Hyeri, selain gelengan lemah dari gadis berambut blonde tersebut. Semakin memalingkan wajahnya agar tidak terlihat oleh sang manager. Kedua matanya sudah berkaca-kaca.

"Dengar... Aku minta maaf atas apa yang terjadi di kampus tadi," Hyeri berujar, tidak ingin Rosé semakin merasa sedih. "Aku melakukan itu karena... Karena kau bersikap tidak biasanya, kau membuatku bingung. Jika kau mengatakan alasannya, mungkin aku akan mengabulkan permintaanmu untuk tetap berada disana. Menunggu disana hingga Lalice sadar."

Nama yang disebutkan oleh Hyeri barusan berhasil membuat kepala Rosé tertoleh. Kedua matanya yang berkaca-kaca tampak melebar. "L-Lalice?..."

"E-eoh, itu namanya. Song Lalice. Kau tidak tahu? Apa aku yang belum memberitahumu?"

Mengabaikan pertanyaan Hyeri, Rosé meraih tangan manager-nya itu. Mencengkeramnya dengan erat.

"Eonnie, aku ingin kembali kesana." Mohon Rosé dengan suara serak menahan tangis. "Jjebalyo, Hyeri-eonnie..."

"G-geundae... Wae--"

"Aku janji, begitu kita kembali ke sana dan memastikan... Aku berjanji akan menceritakan semuanya kepadamu. Sesuatu yang tidak kau dan semua orang ketahui tentang diriku serta keluargaku."

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Rosé. Setelah sepuluh tahun lamanya berjalan menyusuri kegelapan, akhirnya Rosé bisa melihat cahaya, walau hanya setitik. Selama ini dia tidak pernah mengharapkan apapun, tetapi setelah kejadian tadi, Rosé berdoa kepada Tuhan untuk mengabulkan harapannya menjadi kenyataan.

"Aku mohon, eonnie. Tolong antarkan aku kembali ke kampus itu." Hyeri menelan ludahnya susah payah. Melihat Rosé yang menangis dihadapannya untuk pertama kalinya benar-benar membuat Hyeri terkejut.

Hyeri melirik lampu merah di depan, tinggal beberapa detik lagi, kemudian kembali menatap Rosé. Apapun itu, pastilah sangat penting. Soloist tersebut pasti tidak akan bertindak berlebihan seperti ini hanya karena hal sepele.

"Arasseo, kita akan kembali." Senyuman merekah pada wajah Rosé saat mendengar jawaban Hyeri. Melepaskan cengkeramannya.

"Gomawoyo, eonnie."

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang