22. Closer

1.6K 248 142
                                    

Lalice menarik napasnya dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar, lalu menghembuskannya secara perlahan. Tidak ada lagi ballroom hotel mewah yang memiliki lampu kristal menggantung diatasnya, atau kerumunan orang kaya yang membuatnya tidak nyaman, apalagi wanita paruh baya menyebalkan itu. Disini, di taman hotel, hanya ada dia dan Rosé.

Melalui sudut matanya, Lalice melirik Rosé yang duduk disampingnya. Soloist terkenal itu tengah menatap air mancur di depan mereka. Kemunculan Rosé yang tiba-tiba berdiri di depannya membuat Lalice merasa heran. Sampai sekarang dia terus bertanya-tanya, kenapa gadis blonde itu bertindak seolah ingin melindunginya?

"Seharusnya kau tidak perlu melakukan itu." Lalice membuka suaranya lebih dulu. Sejak sampai disini, mereka tidak terlibat percakapan apapun. Hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tetapi anehnya, Lalice sama sekali tidak merasa canggung sama sekali.

Suara Lalice berhasil menarik perhatian Rosé. Kedua mata cokelatnya memperhatikan wajah Lalice dari samping. "Melakukan apa?"

"Saat wanita tua itu hendak menyiramku, seharusnya kau tidak perlu berdiri di depanku." Jelas Lalice dengan suara pelan. Pandangannya tertuju pada air mancur, enggan melihat ke dalam sepasang mata cokelat yang sangat mirip dengan miliknya itu.

"Orang kaya selalu saja begitu. Arogan, merasa paling benar, dan selalu bertindak seenaknya. Memangnya dia siapa? Istri presiden saja bukan. Bahkan tadi aku tidak benar-benar menginjak kakinya. Hanya tersentuh sedikit. Tetapi dia dengan segala dramanya, bersikap seolah aku..."

Kalimat Lalice terhenti ketika dia mendengar sebuah tawa pelan yang keluar dari mulut Rosé. Gadis berponi itu menatap Rosé setengah bingung, setengah lagi kesal.

"Kenapa kau tertawa?" Lalice merasa tidak ada yang lucu dari kalimatnya. Dia serius mengatakan itu semua.

"Mianhae, hanya saja... Kau..." Rosé menutup mulutnya. Mencoba meredam sisa tawanya.

"Eomma, ayo pulang~" Rengek Lisa sembari menarik-narik gaun milik Yenna. Chaeyoung yang sejak tadi duduk tenang disebelah sang ibu menoleh menatap adik kembarnya.

Seperti biasa, setiap pergi ke acara pesta bernuansa mewah, Lisa selalu saja merengek minta pulang. Dia tidak pernah bertahan lama di acara tersebut. Berbeda dengan Jisoo, Jennie, dan Chaeyoung yang tidak terpengaruh sama sekali.

"Sebentar lagi, sayang." Yenna membawa Lisa duduk ke pangkuannya. Mengusap rambut cokelat milik putri bungsunya itu. "Appa masih harus berbicara dengan teman-temannya."

"Apa tidak bisa dilakukan besok saja?" Tanya Lisa polos. Memeluk Yenna dengan erat.

Yenna terkekeh mendengarnya. Dia menunduk, mengecup pucuk kepala Lisa dengan sayang. "Tidak bisa, Lili-ya."

"Tapi aku tidak mau berada disini. Aku ingin pulang." Kedua mata Lisa mulai berkaca-kaca.

Dahi Yenna berkerut bingung. Ini pertama kalinya Lisa berkata jujur kepadanya. Selama ini dia hanya membuat-buat alasan agar bisa pulang ke rumah. "Waeyo, Lili-ya?"

"Orang-orang disini menyebalkan." Jawab Lisa langsung pada intinya.

"Ssttt... Sayang, jangan bilang seperti itu." Tegur Yenna pelan, tetapi Lisa tidak peduli. Terus merengek meminta pulang.

"Lili-ya," Chaeyoung memanggil adik kembarnya itu. Dia tidak tega melihat Lisa yang merasa tidak nyaman.

"Tadi Jennie-eonnie membawakanku kue brownies, apa kau mau?" Sambung Chaeyoung lagi, berusaha menghibur Lisa dan mau bertahan disini hingga ayah mereka selesai berbicara dengan teman-temannya.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang