42. Guilty

1.6K 277 102
                                    

Seluruh cerita telah disampaikan. Keadaan ruang makan menjadi lengang. Menyisakan suara isak tangis Jennie. Sepanjang cerita, model terkenal itu tidak henti mengeluarkan air mata. Tidak jarang Jennie berhenti bercerita hanya sekedar untuk menangis.

Jisoo membawa kursinya mendekat ke arah Jennie. Tangannnya terangkat, menuntun adik pertamanya itu untuk masuk ke dalam dekapannya. Model terkenal itu langsung memposisikan dirinya dalam dekapan sang kakak. Menyandarkan kepalanya dibahu milik Jisoo.

"Ssttt... Gwenchana, semua itu hanya masa lalu." Jisoo berbisik menenangkan, tangannya bergerak memberikan sebuah usapan lembut pada punggung Jennie.

Di seberang meja makan, Lalice tengah menunduk. Menatap mangkuk keramik berwarna putih yang kosong dihadapannya. Gadis berkacamata itu diam seribu bahasa. Kepalanya masih mencerna seluruh cerita yang disampaikan oleh Jennie. Ada begitu banyak fakta-fakta baru yang belum dia ketahui dan hal tersebut membuat kepalanya perlahan berdenyut sakit.

'Jadi sumber penyebab kenapa Chaeyoung selalu merasa bersalah selama ini, adalah aku? Karena dia menerima ajakan bodohku untuk bermain hujan, disaat kondisiku yang sedang sakit?...'

Sambil tetap mendekap Jennie, pandangan Jisoo beralih pada Lalice. Dia tidak bisa melihat wajah adik bungsunya itu dengan jelas, karena Lalice saat ini sedang menunduk.

"Sekarang kau sudah mengetahui semuanya, Lisa-ya." Suara Jisoo menggema ke seluruh ruang makan. Mengusir suasana hening yang sempat mendominasi. "Alasan mengapa kami terpecah dan berpisah."

Kalimat Jisoo barusan tidak terlalu didengarkan oleh Lalice. Dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Cerita mengenai kejadian itu terus berputar di dalam kepala Lalice. Berusaha menemukan dimana letak kesalahan Rosé sehingga dia harus mendapatkan itu semua.

"Geundae, wae..." Lalice membuka suaranya. Terdengar serak dan bergetar menahan tangis sekaligus amarah. Kepalanya terangkat. Sepasang mata bundarnya yang berkaca-kaca menatap Jisoo dan Jennie secara bergantian. "Kenapa harus Chaeyoung? Apa salahnya?"

Mendengar pertanyaan Lalice barusan, membuat Jennie semakin terisak. Jisoo menghela napas tipis, mengusap punggung Jennie berulang kali. Lalu dia berbicara kepada adik bungsunya itu. "Lisa-ya, bukankah Jennie sudah mengatakannya. Dia melakukan itu--"

"Tetap saja!" Lalice berseru marah. Kedua tangannya memukul permukaan meja makan. Menyebabkan gelas dan sumpit yang berada di atasnya bergetar. "Kenapa harus Chaeyoung?! Kenapa harus melampiaskannya kepada kakak kembarku, eoh?!"

"M-mianhaeyo... Mianhae, Lisa-ya..." Ucap Jennie pelan diantara isakannya.

"Kau menyalahkan Chaeyoung karena dia yang membuat appa dan eomma meninggal 'kan? Kau salah orang, Jennie-eonnie. Akulah orangnya, aku penyebab dari semua ini. Sekarang aku sudah ada disini, berada di depanmu, lakukan hal yang sama kau lakukan kepada Chaeyoung untuk diriku! Cepat lakukan!"

Dalam pelukan Jisoo, gadis bermata kucing itu menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya mencengkeram baju yang digunakan oleh kakak sulungnya itu erat.

"Lisa-ya, tenangkan dirimu." Ujar Jisoo setengah menenangkan, setengah lagi menegur Lalice.

Brak!

"Lakukan sekarang, Jennie-eonnie!" Lalice berdiri dari kursinya. Menggebrak meja makan sekuat tenaga, melampiaskan kemarahannya.

"Kau mencekik Chaeyoung karena dia menerima ajakanku bermain hujan dan hasilnya membuatku menghilang selama sepuluh tahun lamanya. Sekarang, apa yang akan kau lakukan kepadaku? Orang yang membuat semua kekacauan ini, orang yang membuat appa dan eomma meninggal dunia akibat mengalami kecelakaan saat hendak membawaku ke rumah sakit? Apa kau akan membunuhku? Arasseo, kalau begitu aku kan mengambilkan pisau untukmu."

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang