53. Therapy

3.2K 270 69
                                    

Rosé terdiam di depan pintu. Begitu masuk ke dalam ruang rawat Lisa, mendadak dia disambut oleh suasana tidak menyenangkan. Padahal tadi saat dia meninggalkan ruangan ini, keadaan baik-baik saja.

Jisoo duduk di samping Lisa yang nampak tertidur. Jennie berdiri di belakang kakak sulungnya. Lalu ada Raejun yang duduk di sofa menundukkan kepala. Sebuah kerutan muncul pada dahi soloist terkenal itu. Apa yang terjadi?

"Eonnie," Rosé mendekat, membiarkan Raejun sendirian. "Wae geurae?"

Mendengar panggilan Rosé, Jennie menoleh. Tersenyum tipis menyambut adik pertamanya itu. "Oh, kau kembali, Chaeyoung-ah."

Kepala gadis blonde itu mengangguk. Sekilas tatapannya beralih pada Jisoo dan Lisa, lalu balik pada Jennie. "Ne, tadi aku pergi ke... Eonnie, apa yang sebenarnya terjadi? Apa terjadi sesuatu pada Lisa?"

Mulut Jennie terbuka, berpikir hendak memberikan jawaban apa. Tetapi sebelum sempat menjawab, Jisoo berdiri di kursinya. Berjalan menghampiri Raejun yang duduk di sofa.

"Harabeoji, jeosonghamnida, tetapi aku harus mengatakan ini kepadamu." Saat mengatakan itu, wajah Jisoo terlihat datar, begitu juga dengan nada suaranya.

Raejun mengangkat pandangannya. Bertatapan dengan Jisoo.

"Sampai kondisi Lisa membaik, kami tidak akan mengizinkan siapa pun untuk datang berkunjung, termasuk dirimu. Joesonghamnida, tetapi ini demi kesembuhan adik bungsu kami." Lanjut sulung Kim tersebut yang diakhir membungkuk kepada Raejun.

Sekilas Raejun terkejut mendengar penuturan Jisoo barusan. Tidak menyangka jika dia dilarang untuk melihat Lisa lagi. Sama halnya dengan Jennie. Menurut gadis bermata kucing itu, tindakan sang kakak sulung terlalu berlebihan dan tidak sopan. Rosé yang tidak mengerti apa-apa, hanya bisa diam menonton.

"Sooya, wae--"

"Jeongmal joesonghamnida, harabeoji. Untuk saat ini aku hanya ingin fokus pada kesembuhan Lisa." Potong Jisoo masih dalam posisi membungkuk.

Hening. Pria paruh baya yang merupakan pengusaha terkenal itu memandangi Jisoo cukup lama. Lantas dia menghela napas samar, menganggukkan kepalanya.

"Arasseo," Raejun bangkit dari sofa, berdiri berhadapan dengan cucunya itu. Kedua tangannya memegang lengan atas Jisoo, mengembalikan posisinya berdiri tegak. "Aku mengerti. Mianhae, aku sudah membuat kondisi Lisa kembali memburuk. Sungguh aku tidak bermaksud melakukannya, aku hanya ingin membicarakan tentang--"

"Arayo, harabeoji." Lagi-lagi Jisoo memotong ucapan Raejun. Sedikit mendongakkan kepalanya, bertatapan dengan sang kakek. "Kami tahu apa yang ingin kau katakan. Tetapi tidak bisakah menunggu hingga kondisi Lisa lebih baik?"

Raejun menelan ludahnya. Tangannya yang berada di lengan Jisoo terlepas. "Ne, arasseo. Jeongmal mianhaeyo, Sooya."

"Begitu kondisi Lisa membaik, kami akan menghubungimu."

"Ne, arasseo." Raejun mengulas senyum samar. Tangannya bergerak merapikan setelan jas yang dia kenakan. Kemudian melirik jam tangan mewah yang melingkar di tangan kirinya.

"Sepertinya aku harus pergi," Pria paruh baya itu menatap cucunya satu persatu. "Kalian jangan lupa jaga kesehatan juga. Selalu makan tepat waktu, arasseo?"

"Ne, harabeoji." Hanya Jennie yang bersuara. Sedangkan Jisoo sekedar mengangguk singkat dan Rosé tersenyum tipis.

"Aku pergi dulu." Pamit Raejun, melambaikan tangannya sambil berjalan menuju pintu keluar.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang