18. Never Give Up

1.6K 250 100
                                    

Satu minggu berlalu semenjak acara festival kampus berakhir. Semua mahasiswa kembali belajar seperti biasa. Mengikuti satu kelas yang disusul dengan kelas lainnya. Berlari-larian disepanjang lorong sambil membawa buku dan setumpuk materi yang dibutuhkan sepanjang jam kuliah.

Pagi ini Lalice menghadiri kelas Tiffany. Mahasiswi jurusan fashion design itu tampak sedang menyimak penjelasan sang dosen dengan serius. Namun, nyatanya dia memikirkan banyak hal dalam kepalanya.

Kebiasaan buruknya muncul lagi, dia kembali menjadi Lalice yang suka melamun dan tertutup kepada orang-orang disekitarnya. Jam tidurnya yang semula teratur, sekarang kacau berantakan.

Setiap malam dia selalu terbangun. Percakapannya dengan Rosé kala itu kembali terngiang di telinganya. Terus berulang layaknya kaset rusak, sehingga Lalice sulit hanya untuk sekedar memejamkan mata.

Selama ini, secara diam-diam Lalice memang mencari keberadaan keluarga sesungguhnya. Sejak awal dia bukanlah bagian dari keluarga Song. Lalice merasa senang berada di keluarga tersebut, hanya saja rasanya ada yang tidak tepat.

Akan tetapi, Lalice harus mengubur keinginannya itu dalam-dalam. Karena sampai kapan pun dia tidak akan pernah bertemu dengan keluarga sesungguhnya. Hilang ingatan atau amnesia yang dialami membuat semua itu terasa mustahil untuk diwujudkan.

Jujur, saat bertemu dengan Rosé dan mendengar pendapat Jihyo kemarin, membuat harapan yang sempat musnah itu muncul kembali. Bahkan Lalice dapat merasakan dadanya berdesir ketika pemikiran bahwa dia merupakan bagian dari keluarga soloist terkenal itu terlintas.

Hanya saja, ini adalah Song Lalice. Sosok yang selalu mementingkan logika dibandingkan hal yang lain. Gadis berkacamata itu langsung menepis pemikiran tersebut jauh-jauh. Dia memang ingin bertemu dengan keluarga sesungguhnya, tetapi dia tidak seputus asa itu hingga menerima pemikiran yang jelas-jelas tidak ada buktinya begitu saja.

"Lalice-ya,"

Lalice tersentak sadar. Menoleh menatap Jihyo yang duduk disamping. Teman satu jurusannya itu memegang tangannya yang sejak tadi, secara tidak sadar, terus memutar-mutarkan pena.

"Kau membuatku terganggu." Beritahu Jihyo dengan cara berbisik.

"M-mian." Lalice menarik tangannya. Menyimpan pena tersebut di samping buku catatannya yang kosong. Sejak awal dia tidak sedikit pun mencatat penjelasan Tiffany.

Jihyo menatap Lalice sejenak. Beberapa hari terakhir dia menyadari perubahan sikap gadis berkacamata itu. Dan gadis bermarga Park itu mengetahui alasannya. Mungkin setelah kelas ini, dia bisa mengajak Lalice berbicara.

"Dan seperti yang kalian lihat tadi, ada berbagai teknik yang bisa digunakan dalam menciptakan suatu desain." Tiffany mengarahkan pointer di tangannya ke layar proyektor, lanjut ke slide selanjutnya. Layar berubah menjadi hitam, menandakan slide tersebut telah habis.

"Oh! Sudah selesai ternyata," Tiffany tertawa pelan. Berjalan mendekati laptop miliknya. "Karena semuanya sudah selesai dan sepertinya jam kuliah kita juga sudah hampir habis, maka kelas aku akhiri."

Dalam gerakan yang serentak, seluruh mahasiswa yang ada di dalam kelas tersebut menutup buku mereka. Menyimpan peralatan tulis masing-masing. Samar-samar ada yang menghela napas lega. Biasanya di akhir perkuliahan Tiffany memberi mereka tugas.

"Sebentar," Tiffany mengangkat tangannya, seketika seluruh mahasiswa terhenti. Suara dengung percakapan pun hilang begitu saja. "Jangan lupakan kerjakan tugas. Kalian pilih salah satu dari beberapa teknik yang kalian pelajari tadi dan buat sebuah desain dengan teknik tersebut. Minggu depan kumpulkan."

Persis setelah Tiffany menyelesaikan kalimatnya, seisi kelas dipenuhi oleh suara keluhan-keluhan yang tertahan. Designer terkenal itu hanya bisa tersenyum, menggelengkan kepala.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang