"Lisa-ya."
Mengernyitkan dahi, sepasang mata Lisa yang tadinya terpejam perlahan-lahan terbuka. Setelah selang ventilator yang terpasang di mulutnya terlepas beberapa jam yang lalu, gadis berponi itu memaksakan diri untuk tidur. Jika tetap terjaga maka dia akan terus merasakan rasa sakit di sekujur tubuh bagian kirinya, terutama di kepalanya.
Lisa yang sebenarnya susah tertidur langsung terbangun ketika mendengar suara Rosé barusan. Mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menatap kakak kembarnya itu.
Rosé duduk di sebelah kanan tempat tidurnya. Tangan milik gadis blonde itu menggenggam lembut ujung-ujung jemari tangan kanannya. Rosé tidak bisa sembarangan menyentuh Lisa. Seluruh tubuh bagian kirinya mengalami luka berat. Pada tangan kanannya terpasang selang infus. Sehingga Rosé hanya berani memegang ujung jari Lisa.
Selama memperhatikan Lisa tidur, Rosé sering melihat adik kembarnya itu mengernyitkan alisnya, seperti sedang menahan rasa sakit. Rosé yang tidak tega melihat itu segera membangunkan Lisa.
"Manhi apa?"
Lisa menelan ludahnya susah payah. Sejak tadi dia belum pernah berbicara dan sekarang tenggorokkannya terasa sakit. Sebagai jawaban, Lisa mengerjapkan matanya.
"Apa perlu aku panggilkan dokter?" Genggaman tangan Rosé pada jemari Lisa mengerat, menandakan dia dilanda rasa khawatir.
"A-ani." Lisa mengeluarkan suaranya. Terdengar seperti sebuah bisikan.
Rosé memandangi Lisa cukup lama. Rasa khawatirnya tidak berkurang sedikit pun. "Apa ada yang bisa aku lakukan untukmu?"
Gadis berponi itu mengulas senyum tipis. Dia memang tidak ingat, tetapi entah kenapa dia merasa familiar dengan perhatian yang diberikan oleh Rosé. Seolah-olah kakak kembarnya itu memiliki sifat yang demikian. Lemah lembut dan penuh perhatian.
"Ani," Ucap Lisa pelan. Ibu jarinya bergerak, mengusap buku jari Rosé. "Gwenchana,"
Soloist terkenal itu menghela napas samar. "Arasseo, tetapi jika kau merasa sakit sekali, langsung katakan kepadaku."
"Ne... Chaeyoung-eonnie." Lisa terkekeh samar. Lalu pandangannya beralih ke sekeliling.
Tidak ada lagi ruangan yang serba putih-putih dan memiliki pintu kaca seperti sebelumnya. Dia ada di sebuah ruangan... Apakah ini hotel?
Ruangan ini terlalu mewah jika disebut sebagai ruang rawat rumah sakit. Ukurannya begitu luas, bahkan tiga kali lebih luas dibandingkan kamarnya yang ada di apartemen sewaan. Desain interiornya hampir mirip dengan hotel bintang mewah.
"Ini ruang rawat VIP," Jelas Rosé yang memahami tatapan bingung Lisa. "Kita masih berada di rumah sakit, jika kau bertanya."
Lisa terdiam mendengar ucapan Rosé. Ruang VIP, tentu saja. Ini sama seperti ketika Jennie mengubah semua bus study tour-nya beberapa waktu lalu menjadi bus mewah. Mengingat ketiga kakaknya merupakan sosok public figure jadi tidak mengherankan mereka memilih ruangan ini.
"Aku lupa... Bahwa ketiga kakakku adalah aktris, model, dan penyanyi terkenal."
"Apa hal tersebut benar-benar menjadi masalah untukmu?" Rosé bertanya penasaran. Seperti tebakannya malam tadi, saat berbicara dengan Jisoo dan Jennie, adik bungsu mereka itu tidak suka dengan status yang mereka miliki sekarang.
"Ani, hanya saja... Terasa merepotkan." Jawab Lisa singkat.
Gadis blonde itu tidak bisa menyangkal ucapan Lisa. Mereka saja yang hampir setiap hari berurusan dengan masalah itu, tetap merasa stres dan kewalahan. Apalagi Lisa yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan mereka. Dia hanya adik bungsu mereka, tidak lebih tidak kurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
FanfictionAkibat kecelakaan yang menimpanya pada masa lalu, membuat Lisa harus kehilangan semua ingatannya. Semua memori yang ada dikepalanya terhapus total. Tidak ada yang tersisa, walau hanya sedikit. Namun, pada suatu hari Lisa dihadapkan dengan rentetan k...