17. Assumption

1.7K 280 144
                                    

Perlahan-lahan tangis Rosé mulai reda. Selama soloist terkenal itu menangis, tangan Lalice tidak pernah berhenti mengusap punggungnya dengan lembut, memberikan ketenangan.

Lalice tidak tahu sudah berapa lama mereka berada di atap gedung yang memiliki tujuh lantai itu. Mungkin sudah cukup lama atau bisa saja hanya sebentar. Selama bersama Rosé, gadis berponi itu merasa bahwa waktunya berjalan cukup lama.

Kedua mata bundar Lalice memandang beton pembatas atap gedung. Masih teringat olehnya bagaimana kedua kakinya terasa seperti agar-agar saat melihat Rosé berdiri di atas sana dari kejauhan. Bahkan jantungnya seakan merosot jatuh dari tempat seharusnya.

Saat mencari Rosé tadi, Lalice sedikit terlambat menyadari keberadaan gedung lama fakultas science, tempat mereka berada saat ini. Dirinya terlalu panik sekaligus takut, sehingga dia tidak sadar bahwa gedung ini letaknya berdekatan dengan danau buatan.

Persis diwaktu-waktu terakhir. Seperti ada yang menggerakkannya, gadis berponi itu langsung berlari kembali ke bagian belakang kampus.

Lalice memejamkan matanya, menghembuskan napas panjang. Setidaknya dia sampai tepat waktu. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dia terlambat walau hanya sedetik.

"Gwenchana?" Tanya gadis berponi itu, berbisik di dekat telinga Rosé.

Tanpa mengeluarkan suara, Rosé menjawab pertanyaan Lalice dengan menganggukkan kepalanya samar. Pelukannya semakin erat. Tidak ingin melepaskan pelukan yang terasa begitu sama dengan milik Lisa, adik kembarnya.

Rosé diam-diam menghela napas tertahan. Begitu banyak kemiripan yang dia rasakan antara Lalice dan Lisa. Apakah mereka berdua adalah orang yang sama atau berbeda?

Akan tetapi, Rosé tidak ingin berharap lagi. Dia baru saja merasakan betapa sakit dan pahitnya kekecewaan saat mengetahui bahwa Lalice tidak mengenali dirinya sama sekali. Jika Lalice memang benar Lisa, seharusnya dia mengenalinya. Jika Lalice bukan Lisa, lantas kenapa mereka begitu mirip?

'Tuhan... Apa yang sebenarnya kau rencanakan?' Batin Rosé yang mencengkeram erat baju milik Lalice.

Drrttt... Drrttt... Drrttt...

Suara getaran ponsel terdengar, memecah keheningan yang terjadi diantara mereka. Lalice bergerak perlahan, sedikit enggan melepaskan pelukannya pada Rosé.

"Mian, sepertinya itu ponselku." Rosé mengangguk singkat, sedikit menjauh dari Lalice, membiarkan gadis berponi itu mengambil ponselnya.

Melihat nama yang tertera di layar, Lalice melirik ke arah Rosé. "Hyeri... Manager-mu menelpon."

"Loudspeaker." Beritahu Rosé yang langsung diangguki oleh Lalice.

Lalice menggeser tombol hijau, mengangkat panggilan tersebut. Memposisikan ponsel diantara mereka. "Yeoboseyo?"

"Lalice-ssi! Apakah... Apakah kau berhasil menemukannya?" Begitu panggilan tersambung, Hyeri langsung melontarkan pertanyaannya dengan napas yang memburu.

"Eoh, aku telah menemukannya. Dia baik-baik saja sekarang." Lalice memandangi Rosé yang berada di dekatnya. Segera soloist terkenal itu memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Tuhan, terima kasih!" Hyeri berucap penuh kelegaan diseberang panggilan sana. "Sekarang kalian dimana?"

Lalice hendak menjawab, tetapi batal karena ingat jika Hyeri hanyalah pendatang di kampus mereka. Dia pasti tidak tahu jalan menuju ke lokasi mereka sekarang. "Apa Minnie atau Jihyo masih bersamamu sekarang?"

"Eoh, kami baru saja bertemu lagi setelah berpencar mencari Rosé."

"Bilang kepada mereka, kami sedang berada di gedung lama fakultas science. Mereka pasti tahu dan menunjukkan jalannya."

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang