46. Unfamiliar

1.6K 271 88
                                    

Waktu terus berlalu. Detik berganti menjadi menit. Menit menyulam menjadi jam. Jisoo, Jennie, dan Rosé masih betah menunggu di depan pintu unit ruang operasi. Mereka tetap terjaga meski jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari.

Jisoo duduk diantara kedua adiknya. Bajunya yang berlumuran darah Lisa sudah berganti menjadi sweater milik Jennie. Kebetulan model terkenal itu membawa pakaian berlebih di mobil van-nya, meminta Irene untuk membawakannya ke atas.

Sama seperti public figure yang mereka dampingi, Irene dan Hyeri sekali pun tidak pernah meninggalkan bangunan rumah sakit. Mereka menunggu di tempat lain. Tidak ingin mengusik ketenangan ketiga Kim bersaudari tersebut. Hanya manager Jisoo yang tidak ada disana. Aktris terkenal itu datang ke rumah sakit bersama ambulance yang membawa Lisa.

Jisoo meluruskan punggungnya. Melirik jam yang berada di atas pintu unit ruang operasi. Ini sudah hampir tiga jam Lisa berada di ruang operasi, tetapi tanda-tanda operasi telah selesai tidak kunjung nampak.

Sulung Kim tersebut menghela napas pelan, menyandarkan punggungnya pada kursi. Diam-diam, melalui sudut matanya, Jisoo memperhatikan Jennie dan Rosé yang duduk dikedua sisinya. Sejak tadi tidak ada yang berbicara.

"Jendeukie," Panggil Jisoo, suaranya mengusir kesunyian yang menyelimuti mereka. Kepalanya tertoleh ke arah Jennie. "Bajuku tadi... Dimana kau menyimpannya?"

"Aku membuangnya." Jawab Jennie santai. Bersikap seolah tindakannya itu bukan masalah yang besar.

Jisoo terdiam seribu bahasa. Menatap adik pertamanya itu tidak percaya. "Ne?... Kau apa?"

Model terkenal itu memutar matanya jengah. "Eonnie, bajumu itu sudah berlumuran darah. Nodanya pasti akan sulit untuk dihilangkan, jadi lebih baik dibuang saja."

Sebenarnya alasan lain Jennie membuang baju Jisoo agar kakak sulungnya itu tidak teringat lagi dengan kejadian hari ini. Cukup kejadian sepuluh tahun yang lalu membuat mereka merasa terpuruk sedalam-dalamnya. Dia juga tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Tidak ingin Jisoo menyalahkan dirinya, sama seperti apa yang dilakukan oleh Rosé waktu itu.

"Tetapi... Itu Dior," Ucap Jisoo lagi dengan suara pelan.

"Arasseo, setelah ini aku akan menggantinya." Jennie mendengus samar, lalu lanjut menggerutu pelan. "Padahal aku sudah meminjamkan sweater Chanel favoritku."

Jisoo tersenyum tipis mendengar gerutuan Jennie, mengusak pucuk kepala gadis bermata kucing itu. Setelahnya dia berpindah kepada Rosé. Gadis blonde tersebut tetap diam sambil menundukkan kepalanya.

Tanpa perlu ragu lagi seperti sebelum-sebelumnya, tangan Jisoo terangkat, menggenggam tangan Rosé yang berada di sampingnya.

Soloist terkenal itu tersentak pelan, tindakan Jisoo begitu tiba-tiba, terlebih lagi dia sedang melamun. Kepalanya terangkat, menatap Jisoo yang tengah tersenyum lembut kepadanya.

Bohong jika dirinya tidak merindukan sosok kakak sulungnya tersebut. Sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak berada sedekat ini dengan Jisoo. Rosé hampir lupa bagaimana rasanya kehangatan yang dimiliki oleh sang kakak sulung. Hampir lupa bagaimana Jisoo selalu menemani dan menuruti keinginannya saat mereka masih kecil.

Bahkan saat mendengar tangisan Jisoo tadi, hati Rosé terasa sakit. Perasaan bersalah karena telah menjauhi Jisoo selama ini kembali muncul. Hanya saja, tembok yang Rosé pasang untuk Jisoo, apalagi Jennie, sudah terlalu tinggi.

Gadis blonde itu sendiri tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari sana. Ingin menghancurkannya, tetapi tembok itu terlalu tebal. Sehingga yang bisa Rosé lakukan adalah duduk meringkuk di depan tembok tersebut, menunggu seseorang untuk mengeluarkannya dari sana.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang