Seusai pembicaraan seriusnya dengan dokter yang memeriksa Lalice, Jennie langsung memindahkan sosok yang dia yakini adalah adik bungsunya itu pindah ke ruang rawat VIP. Pihak rumah sakit juga menganjurkan Lalice untuk dirawat selama semalam supaya kondisinya benar-benar pulih.
Kedua mata kucing Jennie memandangi wajah Lalice yang terbaring di tempat tidur pasien. Gadis berponi itu masih tidak sadarkan diri akibat efek obat yang diberikan oleh dokter.
Jennie merapikan poni milik Lalice. Secara tidak sengaja poni tersebut tersingkap, membuat model terkenal itu melihat sebuah bekas luka pada pelipis Lalice.
'Apakah itu bekas luka yang dia dapatkan dari kecelakaan sepuluh tahun silam?' Batin Jennie memperhatikan bekas luka tersebut.
"Jennie-ya," Jennie menolekan kepalanya. Di sofa yang terdapat di ruang rawat tersebut sudah duduk Irene dan Tiffany.
Menganggukkan kepalanya. Jennie yang tadinya duduk di tepi tempat tidur Lalice, bergegas turun. Lalu menghampiri kedua orang yang menanti penjelasan darinya tersebut.
"Aku harus mulai dari mana," Ucap Jennie pelan setelah mendudukkan dirinya di sofa yang berhadapan dengan Irene dan Tiffany. Memikirkan kalimat pertama dari penjelasannya.
"Tiffany-eonnie, apa kau mengetahui kecelakaan yang menimpa kedua orang tuaku sepuluh tahun lalu?" Jennie bertanya kepada Tiffany. Sedangkan Irene sudah mengetahui hal tersebut sejak lama, bahkan secara detail.
"Hmm..." Tiffany tengah berpikir. Tidak lama setelah itu menganggukkan kepalanya. "Sepertinya aku pernah mendengarnya."
"Kecelakaan itu telah merenggut nyawa kedua orang tuaku." Jennie menyatukan jemarinya yang berada di atas paha. Masih merasa sedih setiap membahas kejadian tersebut. "Dan karena kecelakaan itu juga, adik bungsuku yang berada di dalam mobil yang sama dengan kedua orang tuaku, menghilang begitu saja. Seperti hilang ditelan oleh bumi."
Tiffany masih menyimak penjelasan. Tidak dengan Irene yang merubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. Perempuan bermarga Bae tersebut menyadari sesuatu.
"Jangan bilang jika dia..." Tatapan Irene tertuju pada Lalice.
Jennie menganggukkan kepalanya. "Lalice, dia adalah sosok adik bungsuku yang telah menghilang sepuluh tahun lamanya."
"Holy..." Tiffany menutup mulutnya. Terlalu terkejut mendengar pernyataan Jennie.
"K-kau..." Irene menatap Jennie. Tidak percaya sepenuhnya. Jennie dan Lalice baru saja bertemu. Jangankan hitungan jam, mereka bahkan berinteraksi hanya hitungan menit. Tidak mungkin Jennie langsung mengetahui hal tersebut begitu saja.
"Kau yakin jika dia adalah adik bungsumu?"
"Aku sangat yakin, eonnie. Aku langsung mengetahuinya saat kami pertama kali bertemu. Wajah itu... Aku mengenalinya!"
"Geundae, Jennie-ya. Bukankah namanya--"
"Dia mengalami hilang ingatan." Jennie menyela ucapan Irene. Membuat mulut manager-nya itu tertutup kembali.
"Itu yang dikatakan oleh dokter kepadaku tadi. Bagian otaknya yang berfungsi menyimpan ingatan mengalami kerusakan. Hal tersebut disebabkan oleh benturan keras pada kepalanya. Dan aku yakin, kecelakaan sepuluh tahun lalu yang membuatnya hilang ingatan."
"Jadi," Tiffany bersuara setelah sejak tadi diam membisu. "Identitas Lalice yang sekarang, bukanlah identitas sebenarnya?"
"Benar. Oleh karena itu, aku meminta bantuanmu, eonnie. Kau adalah dosennya, kau pasti menyimpan atau mengetahui biodata milik adik bungsuku itu." Ujar Jennie memohon. Hanya Tiffany satu-satunya harapan agar dia bisa mengetahui data riwayat Lalice secara lengkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
FanfictionAkibat kecelakaan yang menimpanya pada masa lalu, membuat Lisa harus kehilangan semua ingatannya. Semua memori yang ada dikepalanya terhapus total. Tidak ada yang tersisa, walau hanya sedikit. Namun, pada suatu hari Lisa dihadapkan dengan rentetan k...