06. Menuju Pulang

1.9K 120 2
                                    

Rifka pergi menuju ke ruang OSIS. Di sana, ia melihat Arfian sedang mengobrol dengan rekan-rekan organisasinya. Rifka bingung. Bagaimana caranya untuk memanggil Arfian sedangkan di sana banyak orang.

Untungnya, Rifka lalu mendapati Arfian melihatnya. Arfian kemudian menghampiri setelah terlihat mengatakan sesuatu pada teman-temannya. Tahu cowok tinggi itu makin mendekat, membuat Rifka semakin deg-degan.

"Ram, lo ngapain di sini?" tanya Arfian.

Rifka yang lagi-lagi melongo dengan ketampanan Arfian, segera bilang, "Hai! T-tolong antarin pulang, dong."

"Emang lo kenapa?" tanyanya, biasanya pun Akram pulang sendiri.

"Gue ..." Rifka menggaruk tengkuknya, mencari alasan. "Oh, iya! Tangan gue pegel," jawabnya asal sambil nyengir kikuk. "Tadi jatuh dari tangga, kaki gue juga agak pegel."

Arfian mengerutkan dahi. "Kepala lo juga kebentur ya?" tanyanya.

"Hah?"

"Lo sekarang kelihatan aneh soalnya."

"Em... Iya, kepala gue juga pusing tadi kebentur tembok," balas Rifka, yang tadinya berbohong sekali menjadi berkali-kali.

Arfian lalu melihat jam tangannya.

"Ya udah, ayo," kata Arfian. "Lagian gue masih ada tiga puluh menit lagi buat mulai rapat."

"Bentar gue nyari kunci motornya dulu." Rifka membuka tasnya, mengacak-acak tas Akram yang berantakan. Itu membuat Rifka kesusahan mencari kunci motor tersebut.

"Entar aja nyarinya di parkiran," ujar Arfian. "Lo duluan aja ke parkiran, gue mau minta tolong ke temen dulu sebentar, supaya habis dari rumah lo gue bisa langsung ke sini lagi."

"I-iya." Rifka pun segera pergi ke parkiran, sambil mencari-cari kunci motor yang dia tidak tahu di sebelah mana Akram menyimpannya. Tasnya memiliki banyak sekali kantong. Sedangkan Arfian kembali ke arah teman organisasinya.

Begitu hampir mendekati parkiran, akhirnya dengan susah payah Rifka menemukan kunci tersebut. Ia pun segera memasuki area parkiran, tetapi baru sadar dirinya tidak tahu yang mana motor milik Akram.

"Ram, ngapain lo di sana?" Arfian bingung Akram berdiri linglung di pojok parkiran. Padahal, motor Akram terparkir jelas di dekat pintu masuk.

Rifka menggaruk tengkuknya. "Eh, enggak. Gue tadi ... Gue tadi lihat kucing. Bagus banget, bulunya lebat," katanya asal.

Rifka pun segera menghampiri Arfian untuk menyerahkan kunci tersebut. Arfian menerimanya, lalu langsung menyalakan motor Scoopy itu.

Rifka menaiki motor tersebut, lalu motor pun berlalu. Ia tidak pernah percaya, kali ini dia diantar pulang oleh pujaan hati! Rifka dibonceng Arfian! Mimpi apa dia semalam?Rifka benar-benar tidak percaya bisa sedekat ini dengan Arfian, walaupun dirinya dalam wujud Akram.

Berada di tubuh Akram beberapa jam, Rifka sudah sangat senang.

[.]

Ketika Akram keluar dari gerbang sekolah, dia menuju ke pangkalan ojek. Belum sampai ke tujuannya itu, dia melewati Tasya, salah satu teman dekat Helly itu, sedang berdebat dengan seorang cowok yang dikenalnya dari kelas lain. Cowok itu adalah Bobi.

Dilihatnya, Bobi seperti menyuruh Tasya untuk pulang bersamanya.

"Nggak mau! Gue mau naik ojek!" bentak Tasya.

"Naik motor gue aja, Tas, lo nggak bayar," kata Bobi.

"Nggak! Pergi lo sana!"

Tetapi Bobi terus terus berusaha agar mau Tasya pulang dengannya.

Bobi melihat ke arah Akram karena melihatnya.

"He cupu! Ngapain lo lihatin gue?!" kata Bobi kepada Akram.

Akram tersenyum sinis. "Nggak. Miris aja lihat lo kayak ngemis-ngemis gitu." Lalu Akram berjalan menjauh, kembali ke arah tukang ojek.

"Kurang ajar lo!" bentak Bobi, tidak terima ketika yang dia lihat cewek cupu itu mengejeknya. Bobi akan menghampiri untuk memberi pelajaran, tetapi tidak jadi karena ia takut kehilangan jejak Tasya.

Akram dan Bobi adalah rival, terutama dalam hal bermain basket. Keduanya tidak suka satu sama lain. Mereka saling tidak mau kalah dan mengalah dalam segala hal.

Akram hanya mengabaikannya saja. Dia lanjut pergi mendekat ke pangkalan ojek. Di sana masih terdapat dua tukang ojek. Mereka tengah meminum kopinya sambil menunggu tumpangan.

"Ojek," kata Akram bernada datar.

"Tuh, sekarang giliran lo kan, Ndut?" kata abang tukang ojek yang kurus kepada tukang ojek yang gendut.

Tukang ojek yang gendut melihat Akram dari atas ke bawah. "Sama lo aja, deh, Kring. Kopi gue belum habis," katanya seperti sedang malas.

"Ya udah," ucap tukang ojek cungkring setelah menghabiskan kopinya yang tinggal sedikit.

Baru saja tukang ojek itu hendak menaiki motornya, seseorang datang menabrak sebelah pundak Akram dari belakang.

"Awas lo cupu!" kata cewek itu. Setelahnya menghampiri si tukang ojek. "Ojek, Bang!"

Itu Tasya. Rupanya, Bobi tidak berhasil untuk pulang bersama cewek itu.

"Eh, Ndut gue bawa si Neng Cantik aja," ujar tukang ojek cungkring kepada tukang ojek gendut. "Lo nanti bawa si Neng kacamata, ya."

"Lah, nggak bisa gitu dong, Kring! Kan tadi lo udah nge-iya-in. Kasihan si Neng itu!"

"Udah, lo bawa si Neng Kacamata." Tukang ojek cungkring tetap kekeh.

"Neng, sama Abang aja, nanti dikasih diskon," ujar tukang ojek gendut ke Tasya.

"Jangan, Neng. Sama Abang aja. Motor dia sering mogok." Tukang ojek cungkring tak mau kalah.

Kedua tukang ojek itu saling beradu mulut untuk rebutan membawa Tasya. Yah, memang. Cewek putih berambut pendek itu selalu menjadi rebutan cowok-cowok di sekolah. Tasya adalah cewek paling cantik di kelasnya. Bahkan mungkin cewek paling cantik di sekolah. Tak heran kedua tukang ojek tersebut saling berebut mendapat penumpang seperti Tasya.

Sedangkan Akram, dia masih berdiri dan sangat diabaikan. Seolah dirinya tidak sedang berada di tempat itu. Akram seperti tidak dibutuhkan.

Perdebatan tukang ojek itu berhenti ketika tukang ojek lain yang lebih tua datang begitu selesai mengantar penumpang lain.

"Saya naik ojek bapak itu aja," kata Tasya sambil langsung berjalan menghampirinya.

Abang tukang ojek tua yang baru datang tersenyum. Sedangkan si tukang ojek cungkring dan gendut kecewa berat.

"Lo sih!"

"Kok gue! Kan itu harusnya bagian gue!"

Mereka saling menyalahkan.

"Ya udah, Neng. Ayo, mau dianter sampe mana?" Kini, Abang Tukang Ojek cungkring bertanya kepada Akram.

Akram tidak sudi menaiki motor para tukang ojek itu yang pemilih. Meski dalam tubuh Rifka, tetapi tetap saja ini demi harga dirinya. Lebih baik, dia pulang dengan berjalan kaki dari pada menaiki tukang ojek itu walau sudah sangat lelah.

Ternyata, menjadi Rifka tidaklah gampang.[]



AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang