Akram bilang kepada tukang ojeknya untuk berhenti padahal saat itu ia belum sampai di rumah Rifka. Sengaja cowok itu turun tidak di depan rumah Rifka, agar Coki atau Bu Hara tidak bertanya-tanya mengapa dia pulang dengan naik ojek, bukan jalan kaki seperti biasanya.
Tetapi, rencananya untuk tidak bertemu Bu Hara atau Coki sia-sia saja. Karena baru saja dirinya turun dari motor, dari belakang ibunya Rifka muncul dari gerbang sebuah rumah dekat dari sana. Sepertinya, Bu Hara baru saja selesai mencuci baju tetangga rumah itu, terbukti dari pakaiannya yang tampak basah sedikit.
"Rifka, kamu naik ojek?" tanya Bu Hara.
Akram mengangguk.
"Uang dari mana, Rifka? Uang jajan kamu kan papasan? Biasanya kan jalan kaki."
"Gak apa-apa, Bu, sekali-kali. Lagian pegel kalau jalan kaki terus," kata Akram. Ia kadang bingung. Padahal Rifka sangat lemah, tetapi mengapa cewek itu kuat sekali berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki setiap hari?
"Ya udah, jangan sering-sering aja ya. Mendingan uangnya ditabung," kata Bu Hara mengingatkan.
Akram mengangguk lagi.
"Ayo cepet pulang, ganti baju. Habis ini kita ke pasar," kata Bu Hara dengan ramah. Bu Hara lalu merangkul anaknya itu sambil mengajaknya berjalan bersama menuju rumah.
Akram awalnya sedikit terganggu dengan keberadaan tangan Bu Hara di pundaknya. Tetapi lama-lama, entah mengapa dia merasa nyaman. Hangat rasanya diperlakukan seperti anak itu oleh orangtua. Belum pernah Akram merasakan kehangatan seperti ini dari Bu Alma dan Pak Bian.
Jangan sampai Akram malah menyukai Bu Hara!
[.]
Saat ini Akram baru selesai berganti baju. Pakaian yang dia kenakan adalah baju dan celana yang sedikit longgar. Dia tidak biasa memakai rok atau pakaian perempuan milik Rifka yang lain. Maka dia mengenakan sesuatu yang nyaman saja untuk gampang bergerak.
"Enggak pakai rok?" tanya Bu Hara.
Akram menggeleng. "Lagi pengen pakai celana aja," balas Akram.
Bu Hara lalu bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu keluar.
"Coki kemana, Bu?" tanya Akram begitu menghampiri Bu Hara. Dari tadi, bocah itu tidak kelihatan batang hidungnya. Pantas saja rumah yang biasanya berisik menjadi adem ayem. "Dia enggak diajak?"
Akram bertanya mengenai Coki bukan karena dia kangen dengan bocah botak itu. Namun hanya untuk basa-basi saja. Akram pikir, di hadapan ibunya Rifka dia tidak boleh terlalu dingin karena khawatir Bu Hara tahu kalau Rifka yang bersamanya kini bukanlah Rifka anaknya sendiri.
"Masih ngaji, jam segini kan Coki emang belum pulang," kata Bu Hara. "Udah biarin, lagian kalau entar Coki ikut, dia malah pengen jajan. Ibu lagi ngehemat," tambahnya.
Akram tersenyum sedikit. Benar juga. Yang ada, kalau bocah botak itu ikut, dia pasti akan merepotkan Akram terus.
Bu Hara kemudian menaiki sepedanya yang sudah terparkir di depan. "Ayo naik," ujarnya kepada Akram.
Akram menghampiri. "Saya aja, Bu, yang bawa sepedanya," katanya.
Bu Hara menatap anaknya heran. Keningnya sampai mengernyit. "Kamu emang udah bisa bawa sepeda?" tanyanya.
Akram bingung mau menjawab apa. Rasanya, dia tidak mau hanya dibonceng saja, takut Bu Hara kecapekan. Apalagi tadi wanita itu baru selesai bekerja mencuci pakaian tetangga. Tetapi, agar ibunya Rifka itu tidak mencurigainya terus, Akram kemudian menggeleng. "Enggak bisa, Bu. Sama Ibu aja."
"Ya udah, ayo naik. Entar keburu Coki pulang," kata Bu Hara akhirnya.
Akram pun menaiki jok belakang sepeda tersebut. Tidak lama, Bu Hara menggoes pedal dan sepeda melaju.
Jarak antara rumah Bu Hara dan pasar sebenarnya tidak terlalu jauh. Tetapi karena mereka berangkat menggunakan sepeda, kira-kira sekitar sepuluh menit baru sampai. Bu Hara mengajak anaknya itu untuk ikut agar Rifka yang dilihatnya bisa membantunya membawa barang-barang yang akan dibeli. Dan supaya ada yang menemaninya juga.
Baru saja mereka akan berbelok ke pertigaan jalan, dari belakang tiba-tiba terdapat sebuah mobil yang juga akan belok, membuat Akram dan Bu Hara hampir tertabrak. Untung saja mobil itu segera mengerem mendadak, tetapi Bu Hara yang terkejut kehilangan keseimbangannya, membuat beliau dan Akram tetap terjatuh.
"Kalau mau belok itu jangan tiba-tiba dong, Bu!" kata si pengendara mobil itu setelah turun dari mobilnya.
Akram juga mengakui bahwa memang Bu Hara yang salah karena membelokkan sepedanya secara mendadak. Bu Hara pun merasa dirinya sendiri yang salah juga.
Akram membantu Bu Hara agar sepedanya kembali berdiri.
"Maaf, Pak. Saya tadi enggak tahu kalau ada mobil di belakang," kata Bu Hara dengan nada menyesal.
Wajah si pengendara mobil yang tadinya tampak marah, langsung mengerut bingung melihat Bu Hara. Lama-lama bapak-bapak itu menyunggingkan senyuman. "Kamu Hara, kan? Hara yang waktu SMP-nya cupu itu?" tanyanya.
Bu Hara ikutan mengerutkan dahi. "Baron?" tebaknya kepada bapak-bapak tersebut. "Kamu Baron, kan? Kamu masih ingat saya?"
"Inget, lah. Saya inget banget, kamu sering di-bully karena penampilan kamu yang aneh. Rambutnya dikepang, kalau jalan nunduk terus. Ngomongnya sering grogi," kata Pak Baron sambil tertawa mengingatnya.
Dulu, jika Bu Hara ada yang mem-bully sewaktu SMP, Pak Baron kadang sering menolongnya. Ketika lulus, Pak Baron pindah ke luar kota, jadi ia tidak bertemu dengan Bu Hara lagi semenjak merek lulus SMP. Dan ini adalah pertama kalinya mereka bertemu lagi selama itu.
Bu Hara ikut tertawa sedikit mengingat kejadian dulu. Baginya, waktu itu Pak Baron adalah seorang pahlawan.
"Tapi kok, ... penampilan kamu sekarang beda banget ya, Har?" kata Pak Pak Baron. Raut wajahnya tampak pangling melihat penampilan Bu Hara yang berbeda jauh dengan Bu Hara ketika SMP. Lebih anggun dan yah ... Cantik.
Sebenarnya, Bu Hara memang cantik. Mungkin dulu Pak Baron biasa melihat Bu Hara yang rambutnya dikepang dua dan tingkahnya lugu.
Pak Baron lalu melihat ke arah Akram. "Ini anak kamu?" tanyanya.
"Iya, anakku yang pertama. Satu lagi laki-laki kelas lima SD. Yang ini, baru kelas dua SMA. Namanya Rifka," kata Bu Hara.
"Kelas dua SMA? Sama dong, kayak anak saya. Dia kelas dua SMA juga di SMA Randurian."
"Rifka juga sekolah di SMA itu," kata Bu Hara.
Dan tentu saja Akram mengenal anak Pak Baron itu. Jika Akram saat ini berada di tubuhnya sendiri, Pak Baron pun pasti akan mengenal Akram karena dulu cowok itu selalu bermain di rumahnya bersama anaknya.
Pak Baron adalah ayah dari teman dekat Akram dulu. Teman dekat yang saat ini menjadi sangat jauh, bahkan mereka malah saling membenci satu sama lain. Teman yang kini Akram anggap dia sebagai musuhnya karena suatu hal.
Bobi.[]
Next enggak ya?

KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Teen FictionAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...