Akram sudah berada di depan rumahnya. Ia berdiri melihat rumah itu, kemarin dia tidak pulang ke rumah ini. Hanya berada sehari di tubuh Rifka, rasanya sudah lama sekali. Entahlah, ia merasa seperti sedang mengalami mimpi buruk kemarin. Dia tidak mau memikirkan hal aneh di luar nalar itu lagi.
Akram berjalan menuju pintu lalu masuk ke dalam rumah. Begitu membuka pintu, ia melihat lutut adiknya tengah diobati oleh Mbok Yen.
"Kenapa?" tanya Akram sambil menghampiri. Dilihatnya, lutut Sephia sudah ditutupi oleh perban elastis.
"Jatuh Bang, dari sepeda," balas Sephia, sambil sedikit mengaduh kesakitan.
"Lo pulang pake sepeda? Papa emang gak ngaterin?" tanya Akram. Biasanya, Pak Bian, papa mereka selalu menjemput Sephia pulang sekolah.
"Gue bilang ke mereka gak perlu jemput. Lagian gue berangkat pake sepeda juga, tadinya kan lo mau anterin berangkat ke sekolah, tapi katanya motor lo mogok, mau naik ojek. Jadi ya udah gue pake sepeda aja. Udah lama juga gak ke sekolah pake sepeda."
"Papa sama Mama tahu lo jatuh?" tanya Akram.
Sephia menggeleng, lalu menghembuskan napas. "Ngapain mereka tahu? Buat apa juga? Paling pas udah dikasih tahu mereka nyuruh ke puskesmas doang. Nggak bakal pulang buat nengok. Pada sibuk terus sama kerjaannya sendiri."
Akram menghela napas juga, dia lalu duduk di sebelah Sephia. "Mau gue antar ke puskesmas?"
"Nggak usah. Nggak parah juga kok. Kan udah dikasih obat sama Mbok Yen."
"Ya udah," kata Akram lalu dia berjalan menuju kamarnya.
"Bang," panggil Sephia setelah Akram baru saja beberapa langkah.
Akram menoleh. "Apa?"
"Gendong!" kata Sephia. "gue pegel kalau jalan pake satu kaki. Mau ke kamar aja, baca novel."
Akram lalu mendekat ke arah Sephia, lalu membungkuk. Sephia kemudian menaiki punggung Akram.
Akram mengingat perasaan baru kemarin dirinya mengendong Sephia yang masih kecil. Sekarang Sephia sudah besar saja. Waktu begitu cepat berlalu, tetapi seperti tak ada kenangan banyak bersama orangtua.
Kadang ia kasihan kepada adiknya. Sephia sangat butuh kasih sayang dari Pak Bian dan Bu Alma. Kalau Akram, tidak terlalu masalah baginya. Toh sudah biasa, dan tidak terlalu peduli juga, walaupun kadang-kadang merasa iri melihat orang lain begitu dekat dengan orangtuanya. Ia lebih tidak tega kepada Sephia.
Begitulah bila menjadi anak yang orangtuanya menikah karena dijodohkan.
Selama delapan belas tahun pernikahan, Pak Bian dan Bu Alma tidak mengalami masalah besar. Hanya saja, mereka seperti tidak benar-benar sebagai pasangan suami istri. Seperti belum berkeluarga. Mereka berdua terlalu fokus terhadap karir dan pekerjaannya sendiri-sendiri.
[.]
Dari awal keluar gerbang sekolah, Rifka berjalan bengong menuju rumahnya. Sampai ia tidak sadar melewati rumahnya sendiri. Saat ini, cewek cupu itu sudah berada di atas sebuah jembatan besar.
Rifka menengok ke bawah, tampak sungai mengalir deras sekali di sana. Jembatan itu sangat tinggi, Rifka sampai langsung menutup matanya. Dia takut ketinggian.
Cewek itu menghela napas. Mungkin hari ini adalah akhir dari hidupnya. Rifka capek hidup sebagai dirinya sendiri. Selalu dikucilkan, penakut, bodoh, tidak bisa apa-apa. Rifka seperti Nobita versi cewek. Tetapi, Nobita masih beruntung karena memiliki Doraemon yang selalu membantunya dengan alat-alat ajaib. Sedangkan Rifka tidak. Rifka sama sekali merasa sangat sial.
Rifka kemudian berjalan sedikit demi sedikit menuju ujung jembatan, sambil tetap menutup mata. Sebentar lagi, cewek itu akan mengakhiri hidupnya dengan terjun dari atas jembatan itu.
Tetapi, belum juga berada di ujung jembatan, tubuhnya sudah gemetaran. Kakinya tidak bisa dia gerakkan lagi untuk melompat. Tidak bisa, benar-benar tidak bisa. Rifka tidak bisa melakukan itu. Memang dia tidak ingin melanjutkan hidup lagi, tetapi masalahnya, dia takut juga untuk mati.
Akhirnya, dia pun memutuskan untuk kembali pulang saja.
"Mbak, kenapa nangis?" tanya Coki begitu melihat kakaknya baru pulang sekolah tetapi sambil terisak. "Pinjem hape lagi dong! Mau maen game."
"Cok, lo tahu gak cara mati tanpa ngerasain sakit gimana?" kata Rifka duduk di bangku, tidak memedulikan pertanyaan adiknya itu. Capek juga dari tadi berjalan dari sekolah sampai jembatan terus balik lagi ke rumah.
"Mati yang gak disengaja, Mbak."
"Kalau mati yang disengaja, gimana?"
"Menurut film yang gue tonton sih, tembak langsung tepat ke jantung, pake pistol."
"Beli pistol di mana, ya? Gue gak punya duit lagi."
"Kenapa emang? Lo mau bunuh diri?" tanya Coki, meledek. "Kalau mau bunuh diri jangan pake pistol, Mbak. Mahal, terus suaranya juga berisik. Mending pake pisau aja tinggal ambil di dapur, gak perlu ngeluarin biaya."
Sebenarnya Coki mau melawak, tetapi ternyata Rifka tidak tertawa. Rifka tetap murung. Coki lantas membulatkan mata. "Eh, eh, eh, Mbak, jangan bilang kalau lo mau bunuh diri?"
"Kalau iya ... kenapa?" tanya Rifka dengan lesu. "Gue udah capek hidup, Cok. Di-bully terus. Hidup gue nggak pernah bahagia. Mending mati aja."
"Lo beneran Mbak?" Coki tampak panik.
"Lo kira gue becanda?"
Coki lantas pergi berlari menuju dapur sambil teriak. "Ibu! Mbak Rifka mau bunuh diri!"
Lantas, Bu Hara segera menghampiri. Ia lalu duduk di sebelah Rifka.
"Rifka, kamu kenapa?" Bu Hara mengusap bahu Rifka.
Rifka kembali meneteskan air matanya. "Rifka capek, Bu. Gak ada yang mau temanan sama Rifka. Semua orang benci Rifka. Rifka juga benci sama diri Rifka sendiri."
Bu Hara memeluk anak pertamanya itu, menenangkan. "Masih ada Ibu, Rifka. Masih ada Coki juga yang sayang sama kamu. Ibu akan selalu ada buat kamu. Ibu nggak mau kehilangan kamu. Jangan berpikiran mau bunuh diri, karena bagi ibu, kamu berharga," kata Bu Hara lembut. "Yang kuat, ya. Ibu yakin sebentar lagi kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang kamu mau."[]
Nulis bagian ini serasa ngos-ngosan banget... Huhu .. vote, ya :))
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Teen FictionAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...