Setelah membantu hantu kakek dan cucunya itu, Akram mengajak Rifka untuk mencari makan. Cowok itu bingung mau makan apa. Meminta pendapat kepada Rifka, cewek itu mengatakan bingung juga dan bilang terserah Akram saja, membuat Akram makin kebingungan. Jadilah mereka mengunjungi kedai mie ayam yang tidak jauh dengan rumah keluarga hantu tadi.
"Selanjutnya, kita bantuin hantu di mana lagi, ya? Pasar? Rumah sakit? Atau kuburan aja?" gumam Akram sembari memulai pembicaraan dengan Rifka.
Sedangkan itu Rifka masih heran dan merasa ada sesuatu dari Akram yang disembunyikan. Kenapa cowok itu kelihatan begitu bersemangat sekali untuk membantunya. Iya, memang, alasan awal Akram membantunya karena cowok itu pasti ada rasa bersalah kepadanya. Rifka tahu itu. Sebelumnya pun, Akram bilang sendiri kalau dia senang membantu hantu-hantu yang semasa hidupnya ada permasalahan yang belum diselesaikan. Katanya seru seperti menyelesaikan misteri-misteri. Oke, Rifka juga menerima itu.
Tetapi, hal inilah yang membuat Rifka sangat terheran-heran. Sosok Akram yang saat ini ia lihat, jadi sangat berbanding terbalik dengan Akram yang waktu pertama kali mereka berhadapan. Rifka pikir, pasti ada sesuatu yang cowok itu inginkan darinya.
Maka dari itu, Rifka pun memutuskan untuk bertanya.
"Ak-ram ... lo kenapa sih, kayak ... seneng banget bantuin gue?"
Akram menoleh, diam sebentar sebelum akhirnya menjawab. "Kan udah gue bilang, seru aja bantuin masalah hantu-hantu, kayak nyelesain misteri-misteri di game."
"T-tapi gue jadi ngerasa berhutang budi ke lo."
"Budi? Nama bapak lo?" Akram sedikit terkekeh.
Lihat kan? Akram yang dulu mana pernah melawak begitu?
"Gak lucu," kata Rifka, karena dia sedang serius dengan pertanyaannya ini. Ia tidak mau, diam-diam Akram malah sedang mempersiapkan untuk menagih hutang Budi kepadanya nanti.
Akram tidak menjawab, hanya mengerutkan dahinya saja.
"Lo ada niatan terselubung kan, bantuin gue kayak gini?" tanya Rifka, menatapnya sangsi. "Lo gak tulus kan, bantuin gue?"
"Kok lo malah mikir macem-macem?" Akram balik tanya.
"L-lagian, aneh banget. Cowok kayak lo ... dengan rela dan tanpa imbalan apa pun ngebantuin gue. Ribet-ribet nolongin hantu-hantu. Cuma demi gue gak indigo lagi. Apa istimewanya sih gue?"
"Perlu gue jawab?"
"Pake nanya."
"Ya karena gue suka."
"Hah?" Rifka tidak mengerti. Apa dia bilang?
Akram tersenyum sedikit. "Maksud gue ... ya, suka aja gue bantuin lo yang hidupnya unik, bisa lihat dan nolongin hantu. Walaupun lo sendiri dan adik lo nyebelin."
"Oh...," kata Rifka mengangguk-angguk sedikit dengan tampang polosnya. Jadi keistimewaan Rifka di mata Akram adalah unik karena bisa melihat hantu. Padahal menjadi indigo adalah sebuah kesialan untuk Rifka yang penakut. Rifka berpikir, jadi ... dengan Akram membantu Rifka menghilangkan indigonya, artinya Akram sedang berusaha agar Rifka menjadi tidak unik lagi, dong?
Rifka akan kembali berdebat dengan Akram, tetapi mi ayam yang dipesannya beberapa menit lalu sudah datang. Karena lapar, Rifka pun segera menyantap makanan itu dan melupakan segala pertanyaannya tadi.
"Kenapa tanya kayak tadi?" tanya Akram setelah beberapa saat hening dengan bunyi seruputan mi ayam mereka.
"Eng-gak apa-apa," jawab Rifka agak gugup. Walau sudah lama ia berhadapan dengan cowok itu, entah mengapa sampai sekarang dirinya selalu gugup. "Cuma ...
gue takut aja kalo ... setelah lo selesai bantuin gue, nanti lu malah nagih sesuatu ke gue sesuka lo, dengan seenaknya, secara sepihak. Kayak dulu.""Emang kenapa kalau gue seenaknya ke lo? Kan lo masih jadi babu gue. Lo lupa?"
Rifka menghela napasnya. Iya, lagi. "Masih inget aja ternyata lo." Lagipula selama ini dirinya tidak diperlakukan seperti babu.
Akram terkekeh sedikit.
"Tapi setelah lo bantuin hantu-hantu dan gue gak indigo lagi. Lo bakal berhenti gangguin gue, kan?" tanya lagi Rifka, sambil kembali memainkan mienya dengan sumpit. Ternyata Rifka masih menganggap kehadiran Akram itu mengganggunya.
"Tergantung."
"Maksudnya?"
"Ya tergantung aja," kata Akram. Tidak tahu harus menjawab apa. "Kenapa sih lo kayak cepet-cepet pengen banget gue pergi?"
"Karena gue bukan siapa-siapa lo," jawab Rifka hampir seketika. "Ya ... B-bayangin aja! Cewek cupu kayak gue, berduaan gini sama cowok cuek dingin kayak lo. Makan mie ayam bareng. Aneh banget gak sih!? Gak nyambung!"
"Tapi walaupun kita enggak nyambung, emang lo ga mau temenan sama gue?" tanya Akram lagi, memastikan.
"Emang lo mau punya temen kayak gue?" Rifka balik tanya.
"Kalau lo juga mau temenan sama gue. Mau gak lo?"
Rifka menghembuskan napasnya. Ia berpikir sebentar sambil melirik Akram sedikit-sedikit. "Tapi janji kan, lo nanti gak bakal minta apa-apa ke gue?"
"Enggak lah. Mau minta apa emang gue sama lo? Gue kan banyak uang. Kayaknya sejauh ini, lo sama adik lo deh, yang selalu minta apa-apa ke gue."
Rifka menggigit bibirnya. Benar juga. Selama ini, malah Akram yang selalu membantunya. Astaga malunya...
"Sebenernya enggak tau sih, gue mau atau enggak jadi temen lo. Lo kan juga orangnya nyebelin. Suka bertingkah seenaknya. T-tapi semenjak lo hadir di hidup gue, gue kayak ... Apa, ya? Gak ngerasa di-bully lagi gitu sama orang lain, khususnya Helly. Gue ngerasa ada yang ngebelain dan ... gak terlalu kesepian. Tapi yah, tetep aja, gak pantes banget rasanya kalau gue jadi temen lo."
Akram menatap Rifka dengan tidak berkedip. "Jadi?"
"Jadi apa?"
"Mau?"
"Mau apa sih?"
"Lo tuh emang bego banget, ya," kata Akram hampir frustasi. "Jadi lo mau temenan sama gue? Status kita yang tadinya majikan sama babu, berubah jadi temenan? Mau gak lo? Apa perlu gue ulang?"
Rifka cemberut Akram tiba-tiba misuh-misuh begitu. Ia mengangkat bahunya dan melahap mie ayamnya dengan setengah hati. "Terserah lo aja, deh. Suka-suka lo!"[]
Makin banyak yang vote, komentar dan follow, makin cepat update, ya!
Sambil nunggu, boleh lah baca dulu ceritaku yang udah TAMAT, judulnya 29th of February!!
16 Juli 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Fiksi RemajaAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...