65. Bepergian

754 59 2
                                        

Ini hari Minggu pagi. Rifka, Coki dan Bu Hara tengah bersiap untuk berpergian. Rencananya mereka akan pergi ke teman Pak Baron yang katanya orang pintar itu. Ya, Rifka akan mencoba untuk menyembuhkan pengelihatannya agar tidak bisa lagi melihat hantu.

Sebelum ini, Bu Hara juga sudah mempertimbangkannya. Jujur saja, ia pun merasa tidak tega kepada Rifka setiap melihat hantu. Anak sulungnya itu memang sangat penakut. Bu Hara tidak mau seumur hidup Rifka selalu dihantui oleh makhluk-makhluk tak kasat mata. Hal itu pasti akan membuat Rifka kerepotan menjalani hari-harinya.

Rifka sendiri pun mengakui bahwa hidupnya memang tidak asyik. Tetapi setidaknya, hidupnya ini bakalan lebih tenang jika ia tidak melihat hantu setiap hari. Kini mereka tinggal menunggu Pak Baron saja untuk dijemput.

Sebuah motor tiba di depan rumah mereka. Itu Akram. Mau apa dia hari libur kemari? Bukannya menjaga Sephia yang masih terbaring koma di rumah sakit.

"Lho, Bang? Ada apa lo ke sini?" tanya Coki yang tengah duduk di teras sambil celingak-celinguk menunggu Pak Baron. Bocah itu sudah mengenakan pakaian rapi. Kapan lagi dia sekeluarga naik mobil bersama keluarganya. "Eh, Sephia udah sadar belum?"

"Belum." Akram turun dari motornya. "Gue ke sini mau beli seblak. Belum buka, ya?"

"Hari ini tutup dulu. Lo kan tahu hari ini gue sama Ibu mau pergi nganter Mbak Rifka buat nyembuhin indigonya. Masa lo belum juga aki-aki, tapi udah aja pikun, sih?" celoteh Coki, seperti biasanya.

Dari dalam rumah, Rifka muncul dengan baju yang rapi juga. Dengan ekspresi bingung sekaligus sebal dirinya pun bertanya kepada Akram, "M-mau apa lo ... ke sini?"

Bukannya dijawab, Akram justru balik tanya dengan pertanyaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan yang ditanyakan Rifka.

"Rambut lo kok enggak dikuncir?  Malah dikepang dua lagi?"

"Hah?" Rifka saja tidak mengerti mengapa Akram bertanya begitu.

"Emang kenapa kalau rambut Mbak Rifka dikepang?" sahut Coki. "Itu gue yang kepangin. Lo mau gue kepangin juga, Bang? Tapi kan rambut lo pendek. Gak bisa, lah!"

Akram mengulum bibirnya. Benar juga. Apa masalahnya jika rambut Rifka tidak dikuncir lagi? Bodoh, kenapa juga dia malah menanyakan hal itu?

Coki menatap sipit Akram yang berlagak aneh karena seperti kebingungan sendiri. "Heh. Kalian berdua enggak ciuman kan sebelumnya? Kok jiwanya kayak ketuker, sih? Tingkah lo sekarang oon banget, Bang, kayak Mbak gue."

"A-apaan sih lo, Cok! Mau gue tendang pantat lo kayak yang dilakuin ibu ke lo kemaren?" ancam Rifka kesal. "Enggak! Kita gak tuker tubuh lagi," lanjutnya.

" Tendang aja!" Coki malah menantang. "Asal jangan kaget kalau besok pagi pas bangun tidur, jari tangan kiri lo tinggal kelingking. Puas lo nanti ceboknya susah!"

Akram tak kuasa melihat pertengkaran kakak beradik tidak jelas di depannya. "Ya udah. Kalau seblaknya tutup karena kalian mau pergi, gue pulang aja," ucapnya.

Baru saja Akram membalikkan tubuhnya untuk berjalan menuju motor, seseorang memanggil.

"Akram! Mau ke mana? Ayo ikut aja nganter Rifka!" ajak Bu Hara.

Sebelum membalikkan badannya lagi, samar-samar cowok dingin itu tersenyum. Justru inilah niat Akram berada di sana; diajak ikut bepergian.

[.]

Mobil sudah hampir setengah jam berjalan. Bu Hara duduk di depan bersama Pak Baron yang menyetir. Sedangkan Akram, Rifka dan Coki duduk di tengah dengan Coki sebagai pembatas duduk antara cowok dingin dan cewek cupu itu.

Sedari awal mobil melaju, Bu Hara dan Pak Baron mengobrol seru, seperti dua orang yang sedang pacaran saja. Sedangkan di bangku tengah amat ricuh oleh pertengkaran dari Rifka dan Coki yang tidak ada habis-habisnya. Akram sampai stres duduk di samping mereka. Lagipula salah sendiri malah ikut segala.

"Tempatnya masih jauh ya, Pak?" tanya Coki, yang baru saja bangun dari tidur singkatnya akibat dari tadi kelelahan ribut.

"Enggak kok, sekitar lima belas menit lagi," jawab Pak Baron.

Coki mendengus. Dia awalnya senang bepergian naik mobil seperti ini, tapi lama kelamaan bosan juga karena cuma bisa duduk. Biasanya di mana pun dia selalu lari-larian atau sekedar mondar-mandir dengan tampang bego.

Sedangkan Akram, saat itu tengah melirik-lirik Rifka yang masih tertidur pulas sambil mangap. Jalan yang dilewati sangat jelek, banyak lubang dan banyak belokan-tanjakan, jadi ia khawatir kalau-kalau kepala Rifka terbentur pintu mobil.

"Bang, lo merhatiin Mbak Rifka?" bisik Coki, memergokinya.

"Enggak!" sangkal Akram agak kaget, tetapi sambil ikut berbisik agar Bu Hara dan Pak Baron tidak mendengar. Sial, katanya dalam hati.

"Kok lo ngotot gitu sih, bilang enggak-nya? Lo bohong ya, Bang? Oh ... jangan-jangan lo suka ya sama Mbak gue?"

"Gak lah. Ya kali."

"Ngaku aja lo! Pipi lo keliatan merah gitu, tau!"

"Enggak, Botak!" tegas Akram kesal.

Dibilang botak, seperti biasa, Coki langsung terdiam bisu. Tahu saja Akram kata-kata keramat yang dibenci Coki.

Coki saat itu memelas, sambil sedikit bergumam, "Jahat banget, sih, lo ngatain gue kayak gitu? Bodo amat kalau lo gak mau ngaku. Padahal Mbak gue juga suka sama lo."

Mendengarnya, Akram membelalakkan matanya. "Hah?! Emang?"[]













Kalau mau besok lanjut lagi, vote dan komen yang banyak. Follow dan baca cerita saya yang judulnya 29th of FEBRUARY!!
Kalau enggak saya up lagi Minggu depan ... Wkwkw

08 Februari 2024

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang