64. Tali Rambut

749 61 1
                                    

Akram menyerahkan sapu itu ke Coki, lalu segera meletakkan buku Panduan Tukar Jiwa itu lagi ke dalam lemari. Setelah itu, ia bergegas keluar dari kamar tersebut sambil memikirkan bagaimana bisa di zaman yang modern ini, kutukan itu masih ada? Ia tetap susah mempercayai meskipun dia sendiri pernah mengalami dampaknya.

Akram berjalan ke luar, menuju warung seblak Bu Hara. Matanya mendapati Rifka yang tengah menyapu lantai, sepertinya beberapa keping kerupuk seblak jatuh berserakan. Akram memerhatikan cewek cupu itu sebentar. Cewek biasa yang, yah, amat biasa-biasa saja. Cantik tidak jelek sekali juga tidak. Benar-benar biasa saja. Sampai akhirnya ia menyadari sesuatu. Ada yang berbeda dengan Rifka kali ini. Rambutnya tidak dikepang dan dibiarkan terurai rapi begitu saja.

Rifka tampak merasa agak terganggu dengan rambutnya yang lumayan panjang itu. Ia lalu meraih tali rambut di sampingnya, kemudian mengikat rambutnya. Saat itu, Akram reflek melebarkan matanya sedikit. Mulutnya ikut agak terbuka juga. Dia tidak menyangka kegiatan Rifka yang sedang mengikat rambut itu bisa membuatnya seperti ... takjub? Atau ... apakah saat ini Akram sedang terpesona? Dia sendiri tidak mengerti. Yang jelas, Rifka yang dia lihat saat ini sangat berbeda dan bercahaya.

TIN!! TIN!!

Suara klakson mobil mengagetkan Akram, menyadari bahwa sedari tadi ternyata dia melongo memandangi Rifka dengan rambutnya yang telah terikat seperti buntut kuda.

Mobil itu terhenti dan parkir di depan warung seblak Bu Hara. Tidak lama setelah itu, pintu terbuka lalu muncul lelaki tua seumuran Bu Hara. Dialah Pak Baron.

Bu Hara menyambut Pak Baron dengan ramah, seperti ketika Akram disambut Bu Hara tadi begitu baru datang. Setelah bercakap-cakap sebentar, ayahnya Bobi itu menatap Akram sambil mengerutkan dahinya. "Akram?" panggilnya, agak ragu. "Kamu Akram kan? Temennya Bobi?" tanyanya untuk memastikan.

Akram tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Iya, dulu memang Bobi adalah temannya. Tapi sekarang kan tidak. Bahkan mereka berdua musuhan. Kalau Akram menggeleng, mana mungkin Pak Baron bakal percaya dan pasti akan menanyakan lebih banyak lagi mengapa mereka bisa musuhan. Makanya Akram diam saja, tidak mengangguk tidak menggeleng.

"Iya, dia Akram. Teman sekolahnya Rifka. Kamu kenal?" Akhirnya Bu Hara yang menjawabnya.

"Dia temen anak saya juga!" ujar Pak Baron. "Ngapain di sini, Ram?" tanyanya lagi kepada Akram.

"Beli seblak," jawab Akram datar. "Om sendiri, ngapain ke sini?"

Akram sebetulnya tahu betul kalau niatan Pak Baron ke sini karena akan mendekati Bu Hara. Tentu saja, tingkahnya dulu ketika ia mengantarkan Bu Hara ke pasar sangat jelas bahwa Pak Baron naksir Bu Hara.

Akram juga sebenarnya malas untuk berbasa-basi dengannya. Yah, memang dia selalu malas berbasa-basi dengan siapa pun, kan? Tapi, ya namanya orang bertanya, kenapa tidak dijawab? Dulu juga kan setiap Akram main ke rumah Bobi, Pak Baron selalu memperlakukannya dengan baik. Maksudnya, jika Akram membenci anaknya, bukan berarti ayahnya harus ia benci juga.

"Main aja. Bu Hara teman sekolah saya soalnya. Sekalian beli seblak juga," jawab Pak Baron.

"Oh."

Tiba-tiba dari dalam warung, kerupuk seblak berjatuhan lagi. Ulah Rifka, tapi sepertinya tidak disengaja. Saat ini, cewek itu seperti terengah-engah sambil melihat ke arah Pak Baron. Matanya langsung ditutupinya dengan kedua tangan. Rifka seperti sedang ketakutan.

"Ya ampun Rifka, kamu kenapa?" Bu Hara segera menghampiri.

Coki yang sedang asyik melamun di dalam rumah juga sampai keluar karena penasaran. Bocah itu lalu menyeru, "Mbak? Lo pasti ngelihat setan, ya?"

[.]

Sekarang Rifka, Akram, Coki, Bu Hara dan Pak Baron duduk melingkar di ruang tamu sambil menyantap seblaknya masing-masing. Jarang-jarang mereka mendapatkan tamu dua sekaligus.

"Bumbunya enak," puji Pak Baron. "Kamu tahu resepnya darimana, Ra?"

Bu Hara kelihatan malu-malu. "Itu saya coba-coba bikin dan ciptain sendiri bumbunya, enggak belajar atau liat tutorial apa pun."

"Ibu emang jago masak, Om!" celetuk Coki. Padahal sebelumnya dia sangat bete dan selalu melamun. Begitu Pak Baron datang, tingkahnya jadi sok asik dan caper.

Pak Baron mengangguk-angguk.

"J-jadi Om ini ... temen SMA-nya Ibu?" tanya Rifka. Dia baru pertama bertemu dengan Pak Baron. Bukannya ingin berprasangka buruk, tetapi Rifka menduga bahwa Pak Baron sangat dekat dengan Bu Hara.

Pak Baron mengangguk. "Dulu kami sering bareng di sekolah," katanya.

"Ibu waktu sekolah, gimana Om?" tanya Coki.

"Baik. Lugu. Lucu. Ya, kurang lebih kayak kakakmu ini."

"Masa sih Om kayak Mbak Rifka? Ibu kan cantik!"

"Sembarangan banget mulut lo!" bentak Rifka, tak terima dipermalukan begitu di hadapan orang lain.

"Eh, maaf, Mbak. Omongan gue terlalu frontal, ya?" Coki tampak tak bersalah.

Pak Baron terkekeh kecil. "Ibumu cantik, kok. Rifka juga cantik, tuh lihat, Akram aja sampe gugup lihatnya. Ya, Ram?"

Akram yang tengah tenang nan tentram menyantap seblak dari Bu Hara itu, seketika tersedak. Bapak-bapak rese! Tetapi, yah perkataan Pak Baron itu tidak sepenuhnya tuduhan juga. Karena asal mereka tahu saja, entah mengapa sedari tadi Akram tidak berani menatap Rifka yang duduk di hadapannya.

Akram tidak menanggapi, daripada dia menanggapi dan lalu kelihatan salah tingkah. Jadi dia kembali menyantap seblaknya saja dengan berlagak seolah-olah dia tidak peduli. Sedangkan Bu Hara dan Coki tertawa membuat Rifka memajukan bibirnya sebal.

"Om Baron emang deket banget ya sama Ibu di sekolah?" tanya Rifka, mengalihkan pembicaraan agar percakapan tidak melulu soal Akram dan dirinya terus. Muak.

"Dulu itu, ibu selalu sendirian," kata Bu Hara. "Tapi Pak Baron selalu nemenin Ibu. Ya ... Kayak Akram ke kamu gini."

Sial, mereka malah kembali membicarakannya lagi dengan Akram. Rifka mendengkus sebal. Bagaimana caranya untuk bilang kepada mereka bahwa Rifka tidak ada apa-apa dengan Akram?!

"Kok main ke sininya sendirian aja, Om? Istri sama anaknya ... mana? Biasanya kan kalau orangtua main ke rumah temen, ngajak keluarganya? Kok Om enggak, sih?" cerocos Coki dengan pertanyaannya yang banyak itu. Pasti dia bete karena dari tadi merasa tidak diperhatikan.

Pak Baron terkekeh sedikit melihat celotehan Coki. Akram yakin pasti Pak Baron juga agak sebal dengan bocah botak itu.

"Anak Om satu, Bobi, lagi latihan basket sama temennya. Istri Om ... Udah gaada," kata Pak Baron.

"PANTESAN MAIN SENDIRIAN!! OM MAU NGEDEKETIN IBU, YA!? YA UDAH AYO CEPET NIKAH AJA!! YEY!! PUNYA BAPAK BARU!!" teriak Coki kencang.

Bu Hara yang panik segera mencubit Coki sampai mengaduh kesakitan. Suasana yang tadinya seru kini menjadi hening dan canggung begitu saja sampai Pak Baron kembali mengalihkan pembicaraan lain.

Pak Baron bertanya kepada Rifka. "Rifka, kamu masih bisa ngelihat hantu, ya?"

Sebenarnya, waktu tadi Rifka ketakutan, karena ada ibu-ibu berwajah pucat di belakang Pak Baron. Sepertinya itu adalah arwah istrinya Pak Baron yang sudah meninggal.

Rifka mengangguk. "M-masih, Om."

"Mbak itu indigo, Pak!" sahut Coki lagi. "Eh, boleh kan Coki manggil Pak, bukan Om?"

Pak Baron kembali terkekeh kecil, entah berapa kali lelaki itu terkekeh kecil di sana gara-gara Coki. "Boleh, boleh. Lagian saya kan emang udah bapak-bapak. Asal jangan panggil Tante atau Mbah aja."

Mungkin saat itu Pak Baron berniat untuk melawak. Tetapi karena lawakannya garing dan terlalu lelucon kebapak-bapakan, jadi tidak ada yang tertawa di sana. Supaya tidak terlalu malu, untuk menutupi kegaringannya itu, segera beliau bersuara lagi, "Oh, Rifka, jadi kamu bisa ngelihat hantu, tapi kamu penakut, ya? Saya punya kenalan, orang pinter. Dia bisa ngebuat para indigo supaya gak bisa ngelihat hantu-hantu lagi. Kamu mau coba ke sana gak? Nanti saya antar, deh."[]













02 Februari 2024

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang