Beberapa hari kemudian, pagi itu Akram melihat Rifka akhirnya masuk sekolah juga. Tidak melihatnya terakhir kali semenjak dia menjenguk Rifka, kehadirannya kini membuat Akram merasa senang bisa melihat cewek cupu itu sembuh dan bisa bersekolah lagi.
Akram melihat kacamata Rifka. Ternyata, kacamata pemberian Akram tidak Rifka pakai, si cewek cupu itu tetap mengenakan kacamatanya yang retak sedikit.
Pikir Akram, mungkin Rifka masih belum bisa memaafkannya.
Tidak lama kemudian, seorang guru mata pelajaran Matematika datang. Seperti biasa, Bu Tinah langsung membuat soal Matematika di papan tulis.
Usai menuliskan tiga soal, Bu Tinah menyuruh tiga orang muridnya untuk mengisi masing-masing satu soal ke depan.
"Silakan, adah yang bisah mengerjakan soal dih depan?" tanya Bu Tinah.
Dan, yah, tentu saja Furi dan Arfian yang pertama maju ke depan.
"Satuh soal lagih," kata Bu Tinah. Beliau lalu tampak menoleh ke bangku paling ujung tempat Rifka duduk. "Rifkah, mauh keh depan lagih ngerjain soalnyah?" tanyanya.
Rifka menggigit bibirnya. Mulai sekarang, Bu Tinah pasti memiliki harapan lebih kepada Rifka karena Akram waktu berada di tubuhnya dulu.
"E-nggak, Bu," balas Rifka gugup.
Helly tampak terkekeh sinis. "Tuh, kan, Bu! Dia tuh kemarin ngerjain bener soalnya cuma kebetulan doang! Aslinya sih bodoh, gak bisa apa-apa!" ledeknya.
"Jangan ngeledek orang bodoh kalau dirinya sendiri juga bodoh!" kata Akram, meredakan tawaan orang-orang sekelas.
Perkataan Akram itu membuat Helly menjadi sakit hati. Rasanya dipermalukan oleh orang yang disukainya sangatlah menyakitkan.
"Saya bisa ngerjain soal nomor tiga, Bu!" seru Akram kemudian. Ia berdiri lalu berjalan ke depan.
"Silakan, Akram," kata Bu Tinah.
Rifka yang melihat orang yang mengerjakan soal di depan lagi-lagi adalah orang yang sama, berpikir heran. Kapan ya, dirinya bisa mengerjakan ke depan dengan otaknya sendiri? Rifka merutuki dirinya, kenapa otaknya lemot sekali? Tidak seperti Furi, Arfian dan Akram?
Tidak sampai lima menit, mereka bertiga sudah selesai mengerjakan soalnya masing-masing.
Belum juga Bu Tinah memeriksa jawaban mereka, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kelas. Itu Pak Yatno.
"Fermisi, Bu Tinah, ayo ke ruang rafat. Udah mau mulai," kata Bu Pak Yatno.
Bu Tinah mengangguk. "Iyah Pak, sebentar lagih sayah keh sanah."
Bu Tinah lalu menoleh ke arah murid-muridnya. "Anak-anak, kalian kerjain bukuh paket dih halaman tujuh, yah. Nantih Arfian tolong kumpulin keh mejah ibuh dih ruang guruh."
"Baik, Bu," kata Arfian, diikuti teman-teman sekelasnya yang lain.
Setelah Bu Tinah pergi, Rifka menatap soal di buku paket yang Bu guru itu suruh kerjakan. Tetapi, menatap soalnya saja Rifka sudah pusing.
Rifka berusaha untuk mengerti, tetapi ketika menengadah, ia melihat sesosok hantu di dekat lemari kelas.
Rifka berteriak histeris.
"HANTU! ADA HANTU!"
Tentu saja orang orang di kelas yang sedang pusing mengerjakan soal dari Bu Tinah kaget Rifka tiba-tiba berteriak seperti itu.
"Bisa diem gak sih lo cupu?! Berisik tahu, gak?!" bentak Helly.
"Tahu tuh, aneh emang dia," tambah Furi. "Dasar gila!"
Rifka masih berteriak, ketika hantu itu berjalan menghampiri kepadanya. Akan tetapi, tiba-tiba setan itu pergi begitu saja saat ia sudah berada di samping meja Tasya.
Tahu bahwa hantu itu sudah menghilang, Rifka segera mengerjakan kembali soal matematika yang disuruh Bu Tinah. Dia benar-benar capek. Semenjak ulang tahunnya yang ke tujuh belas dua minggu lalu, dia selalu melihat sosok-sosok hantu menyeramkan. Kemampuan bisa melihat makhluk tak kasat mata itu membuat Rifka makin tak disukai teman-temannya karena mereka tidak pernah percaya bahwa Rifka bisa melihat hantu.
[.]
Bel istirahat akhirnya telah berbunyi. Saat itu, Arfian baru saja selesai membereskan buku-buku teman sekelasnya. Ia lalu mengajak Akram untuk mengantarkan tugas matematika di meja Bu Tinah di ruang guru.
Waktu akan berbelok ke pertigaan koridor, Akram hampir tidak sengaja menabrak seorang cewek. Rifka. Rifka yang membuka mulutnya untuk meminta maaf hampir menjatuhkan buku yang Akram bawa, langsung pergi sambil menunduk karena dia masih kesal kepada cowok dingin itu.
"Ram, kenapa ya, si Rifka selalu aneh teriak-teriak ngelihat setan?" Arfian memulai percakapan.
"Dia emang bisa lihat setan," kata Akram.
"Lo kok ... tahu?" tanya Arfian.
Akram hanya mengangkat bahu. Sesaat kemudian ia menyesal memberitahu itu kepada Arfian. "Ya ... Siapa tahu, kan?" balasnya akhirnya.
Arfian mengangguk-angguk sedikit. "Gue juga percaya sih, soalnya tetangga gue juga bisa ngelihat setan."
Akram terlihat bodo amat mendengarnya. Ia kemudian mendapati Tasya dan Bobi yang seperti sedang berdebat di dekat tangga. Mereka seperti sedang marahan. Tasya seperti tidak mau disentuh oleh Bobi setiap Bobi akan memegang tangannya.
Dalam hati, Akram tertawa kecil melihat Bobi kesal seperti itu. Belum satu minggu pacaran, mereka sudah marahan saja. Dia sangat senang melihat cowok itu menderita. Padahal, dulu Akram dan Bobi adalah teman dekat. Bahkan sangat dekat. Tetapi karena suatu hal, sampai saat ini mereka berdua berubah menjadi seperti sepasang rival, saling membenci satu sama lain.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
AKRAM & RIFKA
Fiksi RemajaAkram mau tidak mau harus terjebak ke tubuh cewek cupu indigo. Rifka malah kegirangan begitu tahu jiwanya masuk ke tubuh Akram, cowok tampan dan dingin yang selalu disegani oleh semua orang. Bagi Rifka, menjadi Akram adalah keberuntungan. Bagi Akram...