66. Orang Pintar

867 60 2
                                    

"Hah?! Emang?" tanya Akram tak percaya mendengar omongan Coki yang menyatakan, padahal Mbak gue juga suka sama lo.

Melihat ekspresi Akram di depannya, Coki geleng-geleng kepala. "Dih, lo gak percaya? Nih, Bang, dengerin ya. Lo tuh walaupun ngeselin, tapi mukanya ganteng. Selain ganteng, pinter ... kaya, lagi! Mbak gue yang cuma cewek cupu oon itu, pasti suka, lah, sama lo! Lo gak usah sok-sokan paling gak percaya diri gitu, dong, jadi orang ganteng!" jelas Coki seperti menasihati anak TK.

Bisik-bisik mereka yang makin lama makin mengeras itu membangunkan Rifka di sampingnya. Rifka tampak menguap sambil bersuara, "A-ada apa, sih, kalian berdua? Berisik amat dari tadi?"

"Ini, nih, Mbak. Bang Akram ternyata suka---" omongan Coki ini terhenti setelah congornya disumpal dengan telapak tangan Akram.

Mulut bocah botak itu memang sulit sekali direm.

"S-suka apa?" tanya Rifka, lebih ke bingung.

"Suka sama ... pemandangannya! Indah, ya?!" sangkal Akram menjawab asal, sambil masih menyumpal mulut Coki menggunakan tangannya yang sudah seperti memeras santan kelapa.

Rifka kemudian menengok ke arah jendela, lalu mengerutkan dahi. Jadi yang Akram bilang pemandangannya indah itu ...

"Sawah?" tanya Rifka, masih linglung.

"I-iya ... sawah," jawab Akram kikuk, baru ngeh ternyata kali ini mereka sedang berada di tengah-tengah pesawahan yang di kanan kiri jalannya hanya ada beberapa rumah kumuh tak berpenghuni. "Jarang-jarang kan, di kota kita lihat ... sawah?"

Cowok dingin itu mencoba meyakinkan argumennya itu, seolah-olah pesawahan di sana benar-benar indah, seperti yang dia asal bilang barusan. Padahal, kan ... cuma sawah! Bahkan pesawahan di sana tampak baru tandur. Apa yang diharapkan dari sekadar sawah yang belum panen?

Rifka yang bodoh pun hanya mengangguk-angguk saja dengan ekspresi yang setengah sadar setengah tidur. "I-iya ... Sawahnya indah banget, ya, kalau dilihat-lihat."

Kayak lo, batin Akram sambil tersenyum samar dan melirik Rifka sebentar-sebentar. Sampai ia tidak sadar tangan kanannya masih memeras mulut Coki. Lantas ia segera membuka mulut bocah itu yang mukanya tampak sekarat.

Ternyata, bukan hanya mulutnya saja yang disumpal Akram. Tetapi hidungnya pun tak sengaja ikutan tersumpal oleh tangan Akram, membuat Coki kesulitan bernapas.

"JAHAT LO BANG!! LO MAU GUE MATI?!" pekik Coki marah, sembari mengelus mulutnya yang memerah dan sedikit monyong.

"Sorry, gue ... gak sengaja!" kata Akram, merasa agak bersalah. Sejurus kemudian, dia menyodorkan ponselnya kepada Coki sebagai permintaan maaf atas dasar bertanggung jawab.

Coki yang marah tetapi mudah luluh itu, tentu saja menerima ponsel tersebut untuk bermain game, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia lalu langsung terfokus dengan benda di tangannya itu.

Sedangkan di sisi lain, Akram masih terngiang-ngiang dengan perkataan Coki sebelumnya. Masa, sih, Rifka suka kepadanya? Kalau Rifka menyukainya, kenapa kemarin-kemarin bahkan sampai saat ini, setiap Akram mendekati Rifka, cewek cupu itu malah kelihatan sebel dan terkesan selalu menjauh?

[.]

Mereka akhirnya tiba di sebuah rumah tua bilik yang tampak kumuh seperti tidak terawat. Pak Baron memarkirkan mobil di bawah sebuah pohon beringin besar. Satu per satu dari mereka turun, dan percakapan pertama yang muncul setelah turun terdengar dari mulut Coki.

"Om, eh, maksudnya Bapak," panggilnya pada Pak Baron. "Jadi ini rumah teman Bapak yang pinter itu? Kok rumahnya jelek, ya? Padahal kan, orangnya pinter."

Pak Baron tampak kebingungan untuk menjawabnya. Terlihat dari tangannya yang menggaruk leher. Sudah capek-capek nyetir satu jam lebih, pas sampai malah diberi pertanyaan seperti itu.

Bu Hara yang mengerti dengan keadaan, sukarela membantu Pak Baron untuk menjawab, "Orang pinter kan, gak harus kaya. Banyak juga, kok, orang kaya yang bodoh."

Coki mengangguk-angguk. "Oh ..., kalau Pak Baron, orang kaya tapi pinter, ya, berarti?" tanggapannya. "Terus, terus, Pak Baron tahu orang pinter tapi miskin ini, dari mana?" tanyanya lagi.

"Dulu saya pernah nganter temen yang punya indigo juga. Dia konsultasinya ke sini, supaya gak ngelihat hantu lagi. Dan sekarang dia udah gak ngelihat hantu-hantu lagi," jawab Pak Baron sesingkat mungkin. "Udah, yuk, kita langsung masuk aja ke dalem."

Pak Baron lalu buru-buru berjalan ke arah rumah itu, padahal Coki belum selesai bertanya dan berbicara.

Tadinya, Coki akan bilang, "Kirain Pak Baron ikut yang kayak pesugihan-pesugihan gitu."

Akram, Coki, Bu Hara dan Rifka kemudian segera menyusul Pak Baron dari belakang. Tetapi, Rifka tampak berjalan sempoyongan, seperti sangat lemas untuk sekadar melangkahkan kakinya.

"Mbak! Ayo cepetan! Lama amat jalannya, kayak siput mabok!" teriak Coki yang sudah berada di teras.

"Bentar ... gue mual ... Huek! Huek!" sahut Rifka. Lalu berjongkok memuntahkan cairan dari dalam lambungnya.

"Mual? Lo gak hamil, kan, Mbak?! HEH, GUE BELUM MAU PUNYA PONAKAN, MBAK, ENTAR IBU ENGGAK SAYANG LAGI KE GUE?! SIAPA YANG HAMILIN LO?! BANG AKRAM??"

Bu Hara mendekat ke arah Coki lalu menendang pantatnya. "JAGA MULUT KAMU!! IBU GAK PERNAH, YA, NGAJARIN KAMU NGOMONG BEGITU?!"

Akram awalnya kesal karena Coki menuduhnya menghamili Rifka. Begitu melihat pantat bocah itu ditendang ibunya, ia luar biasa tertawa.

Bu Hara lalu berbalik dan segera menghampiri Rifka yang tampak sekarat. "Kamu gak apa-apa, kan?"

"Enggak, kayaknya ... cuma masuk angin aja, Bu. U-dah lama soalnya ... enggak naik mobil."

"Ya udah, kita masuk dulu ke dalam. Nanti kita minta teh anget," kata Bu Hara. "Akram!" panggilnya kemudian. "Tolong gendong Rifka, dong! Bisa, kan?"

"Hah, enggak! Aku bisa jalan sendiri, kok, Bu!" tolak Rifka, tentu saja. Ia tidak mau merepotkan cowok itu lagi. Lagipula, dia pikir memangnya Akram mau menggendongnya? Yang benar saja!

Rifka lalu tampak berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi jangankan berjalan, belum juga berdiri sempurna, cewek itu sudah terjatuh lagi saking kakinya mati rasa.

Rifka lalu mengebaskan celananya yang kotor. Tiba-tiba di depan wajahnya, terjulur sebuah tangan. Rifka mendongak, melihat tangan siapa itu. Ternyata itu tangan Akram.

Dengan wajah dinginnya, cowok itu berkata, "Jangan cengo! Lo jadi kelihatan jelek. Ayo, bangun! Biar gue gendong."[]













10 Februari 2024

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang