08. Di Rumah Akram

1.7K 109 1
                                    

Begitu sudah sampai di rumah Akram, Arfian memarkirkan motor itu di bagasi samping rumah Akram.

Setelah itu dia kembali pergi dengan teman OSIS-nya yang sudah menunggu di depan gerbang untuk mengantar Arfian balik lagi ke sekolah. Rifka makin merasa merepotkan Arfian. Seperti yang Rifka tahu, Arfian memang orang yang sangat baik.

"Gue duluan ya, Ram. Buru-buru, rapatnya udah mau mulai," kata Arfian berpamitan. "Cepat sembuh lo!"

Rifka tersenyum. "Makasih, udah antarin gue."

Setelah Arfian menghilang pergi, Rifka menatap rumah Akram. Rumah besar bertingkat dua, meskipun halaman depannya terasa kecil. Benar-benar berbeda jauh dengan rumah Rifka yang sempit.

Rifka berjalan ke arah pintu masuk sesudah membuka sepatu dan kaus kakinya. Ia lalu memencet bel rumah. Setelah beberapa saat, seorang wanita tua membukakan pintu dari dalam.

"Eh, Mas Akram. Kirain tamu atau siapa. Kenapa mencet bel segala, Mas? Biasanya juga langsung masuk," kata perempuan tua yang kira-kira berumur enam puluh tahun itu.

"E-enggak apa-apa, kok ... Mamah. Iseng aja tadi," jawabnya kikuk. Ia kemudian menyalami tangan perempuan itu.

Perempuan tua tersebut terkejut dan langsung menarik lagi tangannya.

"Kok malah manggil Mamah, sih Mas? Panggil Mbok Yen aja, kayak biasa. Masa manggil Mamah ke pembantu. Terus nggak usah salim segala, nggak enak." Perempuan yang mengaku dirinya pembantu di rumah itu tampak panik.

Rifka menggigit bibir bawahnya. Haduh, dia salah bicara lagi. "M-maaf, Mbok. Saya tadi masih iseng. Saya cuma lagi capek aja ... jadi em ... butuh hiburan," kata Rifka asal ngomong dari apa yang ada di pikirannya. "Nggak lucu ya, Mbok? Maaf."

Mbok Yen menatap anak majikannya itu dengan tatapan bingung. Tidak biasanya ia melihat Akram seperti itu. Apalagi berperilaku iseng. Setahunya, mana pernah seorang Akram bercanda selama ia bekerja di rumah itu? Tetapi Mbok Yen tidak mau memusingkan hal itu, karena tadi juga orang yang dilihatnya sebagai Akram mengaku bahwa sedang kecapekan. Malah menurutnya bagus bila Akram menjadi lebih menyenangkan, sopan dan suka bercanda. Daripada suka diam dan cuek sekali seperti biasanya.

"Ya udah, masuk, Mas," kata Mbok Yen.

Rifka pun langsung masuk ke rumah itu.

"Mbok ke belakang dulu ya, Mas. Lagi masak."

"Iya, Mbok," balas Rifka.

Rifka lalu melihat-lihat ke segala penjuru ruangan. Ia akan memanggil Mbok Yen untuk menanyakan di mana kamarnya, tetapi Mbok Yen seperti terburu-buru menuju ruangan belakang, mungkin pembantu itu lupa mematikan kompor atau apa.

Rifka kemudian melihat anak kecil perempuan sekitar sebelas tahun sedang berjalan turun dari atas tangga.

"Hai, kamu Sephia ya?" tanya Rifka.

"Ada apa sih, Bang?" tanya Sephia begitu mendekat. "Lo kira gue siapa lagi kalau bukan Sephia? Emang gue ada kembaran?"

"Antarin ke kamar dong, Sep," pinta Rifka, tidak memedulikan pertanyaan Sephia.

"Kok lo manggil gue Sep, sih, Bang?"

"Terus apa? Sephi?"

"Phia!" nyolot Sephia. "Lo kenapa deh, Bang? Baru pulang kok jadi aneh bet?"

"G-gue ... Gue tadi ... lihat kuntilanak di sekolah! Makanya gue minta antar lo ke kamar gue." Rifka bohong lagi untuk beralasan. Lagipula dia benar-benar bingung jiwanya berpindah ke tubuh seseorang yang sikapnya berbeda seratus delapan puluh derajat dengannya.

"Lo kok takut setan?" Sephia tampak tidak percaya. "Masa sih lo takut setan?"

Rifka menggaruk tengkuknya. Dia benar-benar bingung. Belum ada sehari dirinya menjadi Akram, ia sudah melakukan banyak sekali kesalahan bicara.

"Ya udah deh ayo, cepet!" kata Sephia terdengar agak malas.

"Makasih ya ... Phia," ucap Rifka.

Sephia mengangkat bahu. "Cepat sembuh deh, Bang!" Ia bingung soalnya kakak laki-lakinya sangat berbeda jauh dari biasanya. Ia mengira kakaknya itu sedang sakit.

"Udah ya, gue mau ke depan. Paket gue udah mau nyampe," ujar Sephia lalu pergi meninggalkannya.

Rifka kaget melihat kamar Akram yang super duper berantakan. Buku-buku, baju, celana, bantal tidak sesuai dengan tempat yang seharusnya. Rifka tidak betah berada di tempat yang berantakan seperti ini.

Karena Rifka tidak tahu harus melakukan apa lagi setelah masuk ke kamar Akram, maka dia pun memutuskan untuk membereskan kamar itu agar menjadi lebih rapi.

[.]

Akram akhirnya sampai ke rumah Rifka dengan sedikit ngos-ngosan. Dilihat dari luar, sepertinya orangtua Rifka berjualan sayur karena di dekat tiang terdapat banyak sekali sayur-sayuran yang berjajar. Baru dia akan mendekat ke pintu untuk masuk, seorang bapak-bapak berkumis tebal muncul dari balik pintu.

"MAU APA KAU RIF? MAU BELI JENGKOL? KALAU SORE UDAH HABIS," kata bapak-bapak itu. Sebenarnya ia tidak sedang memarahi, tetapi memang bicaranya saja yang agak nyolot, seperti orang yang tengah marah-marah.

"Saya mau masuk, Pak. Mau tidur."

Bapak-bapak itu menatap Rifka heran. "KALAU MAU TIDUR DI RUMAH DONG, RIF. MASA MAU TIDUR DI RUMAH TETANGGA? LAGI MARAHAN SAMA IBU KAU?"

Akram mengerutkan dahi. "Tetangga?"

Bapak-bapak itu mengangguk. "IYA, RUMAH KAU KAN DI DEPAN SITU!" katanya sambil menunjuk rumah tepat di depan rumahnya.

Akram segera melihat link rumah di google maps yang diberi Rifka kepadanya. Dia tidak salah, titik lokasinya tepat berada di rumah bapak-bapak berkumis ini. Dia berdecak sebal, Akram berasumsi sepertinya Rifka salah memberikan titik lokasi. Dia yakin karena dia pun baru ingat, sebelumnya Rifka pernah bilang bahwa dia hanya tinggal bersama ibu dan adiknya, sedangkan bapaknya sudah meninggal

Cewek itu benar-benar bodoh, batinnya.

"Ya udah, maaf, Pak," kata Akram kepada bapak-bapak itu. Dia pun segera ke rumah yang dimaksud bapak-bapak nyolot tadi.

Sial. Seorang cowok dingin itu, Akram Mahenra, merasa malu sekali sekarang.[]







AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang