38. Coki Tantrum

987 78 0
                                    

Di sepanjang perjalanan, Akram dan Bu Hara saling diam. Akram yang kini membawa sepeda masih sibuk memikirkan apa maksud ibunya Rifka itu bertanya seperti tadi. Kalau tahu Rifka yang bersamanya sekarang bukanlah anaknya, mengapa Bu Hara begitu santai sekali?

Akram benar-benar bingung.

Ketika akhirnya sampai di rumah Bu Hara, tampak seorang bocah tengah tidur-tiduran di depan pintu, di atas keset. Itu Coki. Tahu ada yang datang, adiknya Rifka itu lantas bangkit untuk duduk bersila di lantai. Dia masih mengenakan seragam ngajinya, dengan peci yang berhasil menutupi kepalanya yang botak. Tasnya bahkan masih digendong. Jika dilihat lebih jelas, mata Coki merah dan sembab, sepertinya habis menangis.

"KENAPA KALIAN BERDUA TINGGALIN COKI SENDIRIAN DI RUMAH! HEU... HEU...." Coki (yang sepertinya memang baru menangis), kemudian kembali menangis keras dan pilu.

Bu Hara lalu segera turun dan langsung berlari menghampiri bocah botak dan manja dan bogel dan cengeng dan pokoknya menyebalkan itu.

"HEU... HEU... DARI SIANG SAMPAI SORE COKI NUNGGUIN TERUS DI SINI," lanjut Coki kesal. "LAPER ... MAU MASUK BUAT BIKIN MIE INSTAN, TAPI PINTUNYA MALAH DIKUNCI, HEU... HEU..."

Bu Hara berusaha memegang tubuh anak bungsunya itu agar tidak duduk di atas lantai terus seperti kucing. Lantainya kotor, belum sempat disapu. Tetapi, Coki masih ngambek, tak mau disentuh dan pergi menghindar dari ibunya.

"Maafin Ibu, Coki, Ibu lupa naruh kuncinya di bawah keset...," kata Bu Hara, sambil memperlihatkan kunci itu yang terbawa di dalam tasnya.

"ENGGAK MAU!" Coki kemudian ngesot  menuju ke arah pintu rumah. "HEU... HEU.... POKOKNYA, IBU SAMA MBAK RIFKA JANGAN DULU MASUK KE RUMAH SAMPE MALEM! BIAR TAHU GIMANA RASANYA NUNGGU LAMA! KALIAN TAHU ENGGAK?! APA YANG KALIAN LAKUKAN KE COKI ITU ... BANGSAT! HEU... HEU..."

Bu Hara menghela napas. "Jangan gitu dong, anak Ibu yang ganteng. Coki kan juga belum makan dari siang. Emangnya gak laper? Habis ini Ibu buatin mie instan, deh.
Nanti kalau enggak makan, Coki sakit." Beliau berusaha untuk merayu anak laki-lakinya itu agar tidak menutupi lubang kunci pintu terus. "Biarin Ibu masuk, ya? Udah mau maghrib."

"BIARIN! BIAR AJA COKI SAKIT! ENTAR KAN BISA MANJA-MANJAAN KALAU SAKIT. KALAU MAU MAKAN DISUAPIN, KALAU PEGEL DIPIJITIN, MASUK ANGIN DIKEROKIN, MAU MANDI DIMANDIIN. ENAK! HEU... HEU..."

Akram jijik dan geli melihat tingkah adiknya Rifka itu. Dia pusing dan telinganya pengang mendengar rengekannya. Sephia saja yang perempuan kalau sedang ngambek tidak sampai sebegitunya. Akram menghela napas. Karena ia masih penasaran dengan penjelasan dari Bu Hara mengenai pertanyaanya di dekat warung itu, Akram lalu menghampiri Coki yang masih tantrum.

"Minggir! Nih, maen game aja lo sana!" ujar Akram sambil menyodorkan ponsel miliknya. Siapa tahu, dengan ini rengekan bocah itu bisa reda dan bocah itu menjauh dari pintu rumah.

Coki yang masih menangis kesal, menatapnya bingung. "Lho? Emangnya lo udah tukeran tubuh lag---" Tiba-tiba bocah itu langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya, seolah sedang tidak sengaja baru saja dirinya akan mengatakan kalimat itu.

Akram mengerutkan dahi. Heran. Apa katanya?

"Jadi ... lo juga udah tahu kalau gue sama kakak lo tukeran tubuh?!" tanya Akram menatap tajam, sambil menarik ponselnya yang baru saja dia sodorkan kepada Coki sebelum bocah itu keburu mengambilnya.

"EH! ENGGAK KOK! ENGGAK! GUE ENGGAK TAHU!" Coki tampak panik. "SUMPAH, DEH! GUE ENGGAK TAHU KALAU KALIAN TUKERAN TUBUH!"

Perasaan Akram pun campur aduk. Mau marah tapi dirinya masih bingung dengan tingkah Coki dan Bu Hara ini.

"Iya, Coki juga udah tahu," jawab Bu Hara dari sampingnya.

Mengetahui bahwa Bu Hara mengatakan itu, Coki terlihat merasa lega. "Tentu aja gue tahu, lah! Gue bisa ngebedain yang mana Mbak gue, mana yang bukan, kali!" katanya menjelaskan. "Jadi, sini mana hape lo? Gue bakal maafin kalian dan ngasih kalian pintu kalau lo pinjemin gue hape buat main game!"

Apa-apaan ini? pikir Akram tidak terima atas perilaku mereka. Sungguh, dia sangat merasa dibodohi oleh keluarganya Rifka di sini. Dia merasa ditipu oleh mereka semua karena sudah tahu bahwa Rifka yang bersama mereka kali ini bukanlah Rifka yang asli.

Akram kemudian berpikir.

Untuk apa mereka sebelumnya menutup-nutupi ini kepada Akram?

Apakah mereka berdua tidak khawatir dengan Rifka yang sekarang ada di mana dan sedang apa?

Atau mereka sudah tahu Rifka sekarang berada di mana dan tidak akan khawatir karena sedang baik-baik saja?

Dan ...

Apakah Rifka juga sebenarnya tahu mengenai ini lalu sengaja berpura-pura bodoh bahwa dia tidak tahu mengapa dirinya bisa berpindah jiwa kepada Akram?

Akram hampir stres memikirkan ini semua. Dia benar-benar bingung campur kesal karena merasa sangat dibodohi oleh mereka semua.[]













Next  ga? Tinggal mencet, nih! Haha. Jarang ada yanh komentar, ah! Gak ada yang follow randurian juga :'D

AKRAM & RIFKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang